London (ANTARA News) - Dewan Pakar Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Eropa menilai friksi-friksi kewilayahan dengan menonjolkan kejawaan, kebatakan, kepadangan, keambonan, kemaduraan dan lainnya dapat menimbulkan berbagai konflik disintegrasi. Upaya penyatuan wilayah yang tertuang dalam Sumpa Pemuda sejak 28 Oktober 1982, mengalami krisis yang berkepanjangan, ujar Ketua Dewan Pakar ICMI, Eropa Zulheri SH, MH dalam diskusi yang digelar di Universitas Leiden, Belanda, Minggu. Peringatan Sumpah Pemuda selain diisi dengan diskusi yang dihadiri Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda JE Habibie, Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan Ketua ICMI Orwil Eropa Sofyan Siregar serta pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Belanda juga digelar bazar dan malam kesenian. Menurut kandidat doktor (PhD) Erasmus University Rotterdam, masalah persatuan Indonesia dilihat dari segi politik yang dulunya dimulai dengan multipartai dan kemudian hanya menjadi tiga partai( dan akhirnya kembali ke multipartai menandakan perpolitikan nasional masih belum stabil. Sementara itu, ia menilai, krisis ekonomi masih belum sepenuhnya pulih yang disebabkan oleh pemodal nasional warga keturunan sempat melarikan aset dan keuangannya ke Singapura dan ke negara lainnya. Persoalan lainnya adalah banyak Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang bekerja di luar negeri yang pada akhirnya tidak optimal untuk pembangunan Indonesia, ujar dosen senior Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Andalas itu. Zulheri memberi contoh sebanyak 35 ahli dari PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bekerja di Airbus Jerman, 10 di AS, 15 orang di Kanada dan 15 di Korea Selatan dan ironisnya 35 orang berada di Malaysia. Selain itu, Zulheri juga melihat banyak pendaftaran teknologi seperti hak paten dan hak cipta, disain industri anak anak bangsa dilakukan di luar Indonesia seperti di AS dan Jepang, bahkan ada yang "dicuri" oleh perusahaan asing. Namun demikian, Zulheri melihat perlunya reaktivasi komitmen Sumpah Pemuda agar semangatnya tidak kehilangan makna,. Begitu pun dengan perlunya upaya elit politik di tingkat nasional untuk menggerakkan semangat tersebut. Selain memacu peningkatan taraf perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan, Ketua ICMI Orwil Eropa, Sofyan Siregar, dalam makalahnya "Sumpah Pemuda: Dulu, Sekarang, dan Akan Datang" mempertanyakan bentuk dari revitalisasi Sumpah Pemuda. Dosen Universitas Rotterdam itu mengemukakan, "Apakah perlu ditambahkan poin Sumpah Pemuda: satu Nusa Satu bangsa satu bahasa, dan satu penderitaan." Sementara itu, JE Habibie mengatakan bahwa Sumpah Pemuda merupakan tonggak nasionalisme Indonesia yang saat ini harus direnungi kembali maknanya. Nasionalisme merupakan proses kejiwaan, timbul dari rasa ketidakpuasan terhadap kolonialisme. Nasionalisme sebagai proses kejiwaan dapat dilihat dari karya sastra seperti karya Mohammad Yamin. Sumpah Pemuda yang dihasilkan para pemuda usia belia merupakan hal yang luar biasa, ujar mantan Dubes RI di Kerajaan Inggris itu lagi. Pada diskusi yang cukup hangat itu Mintardjo dari Lembaga (Stichting) "Sapu Lidi" menyampaikan "Peran Masyarakat Indonesia di Belanda dalam membentuk Ke-Indonesiaan," mengatakan kebangkitan nasionalisme Indonesia di Belanda dipelopori oleh "Indische vereeniging" yang diketuai oleh Moh. Hatta. Namun jauh sebelum itu, Sosro Kartono, yang juga belajar di Indonesia, mengeluarkan kritik keras terhadap Pemerintah kolonial, terutama di bidang pendidikan dan bahkan menolak aturan bahwa untuk lulus di Leiden, harus menguasai bahasa Belanda. Sosrokartono adalah seorang penganjur pertama dari politik etis. Ini harus diketahui oleh semua masyarakat Indonesia. Jadi, nasionalisme indonesia dan gagasan ke-Indonesiaan sudah ada jauh sebelum apa yang diketahui bersama , ujarnya. Dikatakannya, masyarakat Indonesia di Belanda selalu berusaha untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang kehilangan harapan atau "nation in despair". (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007