Jakarta (ANTARa News) - Tuduhan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahwa Temasek Holding Pte Ltd melanggar ketentuan pelarangan kepemilikan silang (Cross Ownership) sebagaimana diatur Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dinilai lemah, kata Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN, FX Arief Poyuono, SE. Dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu, Arief menyatakan, beberapa dalil tuduhan KPPU dalam perkara tersebut dapat dikategorikan cacat teori sehingga akan sangat mudah dipatahkan, seperti tuduhan yang lemah bahwa Temasek memiliki saham mayoritas pada dua perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama. "Tuduhan tersebut tidak benar karena yang dimaksud dengan memiliki saham mayoritas adalah memiliki saham 50 % lebih pada beberapa perusahaan sejenis, artinya perusahaan tersebut memiliki dua perusahaan lebih dan pada masing masing perusahan mereka bertindak sebagai pemegang saham mayoritas," katanya. Ketentuan tersebut mengacu pada Sherman antitrust act (UU Antitrust Federal Amerika Serikat) yang merupakan acuan dari UU Nomor 5 Tahun 1999.Temasek tidak memiliki saham mayoritas di Telkomsel (Pemerintah Indonesia 65 % dan Singtel 35 %) dan Indosat (ICL 41,9 %, Pemerintah Indonesia 14,44 % Newyork Stock Echnage 30 %, Publik Dalam negeri 13,1%). Temasek memang memiliki 67% saham SingTel dan juga merupakan pemegang saham STT. SingTel juga merupakan perusahaan public yang tidak saja membawa kepentingan Temasek selaku pemegang saham tapi juga membawakan kepentingan publik. Baik SingTel maupun STT dikelola oleh tim manajemen yang terpisah dan berkompetisi bebas di area seluler, fixed access, dan internet services di Singapura. Dalam kaitan dengan STT dan Indosat, perlu diingat bahwa Indosat juga perusahaan public yang tidak hanya membawakan kepentingan STT tetapi juga membawakan kepentingan pemegang saham lainnya (Pemerintah yang masih 15%, pemegang saham publik luar negeri/NYSE sebesar 30%, serta pemegang saham publik dalam negeri kurang lebih 13%). Menurut Arief, jika KPPU membuat keputusan berdasarkan dalil dan argumentasi yang lemah, maka keputusan KPPU akan tidak akan akurat. Keputusan yang tidak akurat tentu akan menimbulkan distorsi hukum karena batasan benar-salah dalam persaingan usaha akan menjadi sangat sumir. "Keputusan salah juga akan menimbulkan distorsi ekonomi karena tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investor yang sudah dan akan menanamkan modalnya di Indonesia," ujarnya. Dia mengkhawatirkan, jika sampai KPPU membuat putusan yang tidak akurat, maka dunia industri telekomunikasi Indonesia akan menjadi "rimba belantara" yang tak mengenal aturan hukum dan demokrasi ekonomi, sehingga dapat mengakibatkan matinya industri telekomunikasi Indonesia. "Posisi KPPU sebagai penuntut dan sekaligus hakim dalam UU No 5 Tahun 1999 memang menyulitkan KPPU untuk melakukan introspeksi atas segala keputusannya, namun sebelum terlambat, ada baiknya KPPU mengevaluasi kembali tindakannya terkait kasus Temasek," demikian Arief Poyuono. Pada kesempatan terpisah, Ketua KPPU M Iqbal mengatakan proses perkara Temasek masih berlangsung dan belum ada putusan. "Jadi hendaknya semua pihak menunggu hasil putusan Majelis Komisi pada pertengahan bulan November 2007," katanya. Ia juga mengatakan, yang berhak menilai putusan KPPU adalah pengadilan negeri dan Mahkamah Agung. "Itu pun kalau terlapor mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU ke pengadilan negeri," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007