Depok (ANTARA News) - Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Rudy Satryo, mengatakan hukuman terhadap pimpinan aliran sesat yang dijerat dengan pasal 156 dan 156 a KUHP tentang penodaan agama, dengan hukuman maksimal 3 tahun, terlalu ringan sehingga aliran-aliran yang meresahkan masyarakat selalu muncul kembali. "Ringannya hukuman tersebut merupakan bentuk lain dari pengakuan secara tidak langsung terhadap aliran-aliran sesat yang selalu muncul tersebut," kata Rudy, kepada ANTARA News di Depok, Kamis. Ia mengatakan ringannya hukuman tersebut juga membuat para pimpinan aliran sesat tidak merasa jera. Ia mencontohkan Lia Aminuddin (Lia Eden), yang mengaku sebagai Jibril Ruhul Kudus, hanya dijatuhi hukuman 2 tahun, bukan hukuman maksimal. Menurut dia, sebenarnya sanksi masyarakat merupakan sanksi yang paling efektif untuk menimbulkan efek jera terhadap para pimpinan aliran sesat. "Dengan merasa dikucilkan dan tidak diterima kehadirannya oleh masyarakat, maka akan lebih efektif dibandingkan dengan hukuman penjara," jelasnya. Selain itu kata dia, agar tidak ada lagi aliran-aliran yang dianggap sesat, harus ada suatu wadah atau forum kebebasan menyatakan pendapat, dan membiarkan masyarakat mendengarkan semuanya lalu menyimpulkan mana yang benar dan mana yang tidak. "Jadi masyarakat mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak," tegasnya. Lebih lanjut ia mengatakan diperlukan ketegasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi adanya berbagai macam pendapat tentang paham yang berkembang di masyarakat. "Kalau memang ada indikasi yang menyimpang terhadap agama, harus segera diluruskan dan diberi pengarahan," katanya. Departemen Agama (Depag) dan Ormas Islam juga harus berperan aktif dalam menyikapi perkembangan adanya aliran-aliran yang dianggap sesat. "Masyarakat kan tidak tahu, jadi peran Depag dan Ormas Islam harus lebih aktif," demikian Rudy.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007