Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kemas Yahya Rahman, menegaskan semua pihak yang terkait dengan kasus penjualan dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) PT Pertamina akan diperiksa. "Semua yang ada kaitannya dengan peristiwa ini akan diperiksa," kata Jampidsus di Gedung Bundar Kejaksan Agung, Jakarta, Jumat. Jampidsus menyatakan hal itu menjawab pertanyaan wartawan tentang keterkaitan antara mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dan mantan Menteri Keuangan Boediono dengan kasus VLCC. Ketika ditanya lebih lanjut apakah tim penyidik sudah menangkap indikasi keterkaitan Megawati dengan kasus itu, Jampidsus tidak bersedia berkomentar banyak. Dia hanya menegaskan pemanggilan saksi akan dilakukan berdasar bukti yang ada. Pemanggilan saksi juga bertujuan untuk menjernihkan kasus. Penyidik, katanya, sebenarnya telah memiliki bukti tertulis dan keterangan saksi sebelum menentukan tersangka. Pemeriksaan tersangka dan saksi merupakan usaha untuk mengonfirmasi bukti yang dimiliki penyidik. Desakan pemeriksaan semua pihak yang terkait kasus VLCC juga dilontarkan tersangka kasus tersebut, Laksamana Sukardi. "Saya kira apakah Ibu Megawati atau siapa saja, kalau ingin mencari kebenaran, siapapun yang ada kaitannya harus ditanya," kata Laksamana, sebelum menjalani pemeriksaan. Laksamana diperiksa untuk kedua kalinya sebagai tersangka. Dia datang sekitar pukul 10.15 WIB dengan didampingi beberapa kuasa hukumnya. Laksamana menegaskan penjualan dua tanker Pertamina telah diketahui oleh presiden yang kala itu dijabat Megawati dan Boediono yang menjabat Menteri Keuangan. Selain Laksamana, Kejaksaan Agung juga menetapkan dua pejabat Pertamina yang lain, yakni mantan Direktur Keuangan Alfred Rohimone dan mantan Dirut Arifi Nawawi, sebagai tersangka. Kasus VLCC bermula pada 11 Juni 2004 ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, itu diduga tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Kasus itu diperkirakan merugikan keuangan negara sekira 20 juta dolar AS. Namun demikian, Kejaksaan Agung masih menunggu perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007