Jakarta (ANTARA News) - Pelaku penyiksaan di Indonesia disebut Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim meningkat setelah terjadinya reformasi 1998 dan mereka bukan lagi tentara atau militer, melainkan petugas Satpol PP yang diberi kekuasaan besar tanpa mekanisme kontrol. "Sebelum reformasi, penyiksaan dilakukan oleh polisi dan tentara. Setelah reformasi, tentara tidak lagi masuk ke masyarakat melakukan penyiksaan, tapi yang lebih memprihatinkan adalah mengenai orang yang disuruh pejabat publik untuk melakukan kekerasan," kata Ifdhal dalam pembicaraan telpon dengan ANTARA News di Jakarta, Selasa. Orang "suruhan" pejabat publik itu disebut Ifdhal adalah petugas Satpol PP yang seringkali menggunakan kekerasan dalam melakukan tugasnya seperti razia PKL, razia pengemis maupun penertiban Perda syariah. Perbuatan kekerasan itu disebut Ifdhal melanggar Konvensi Anti Penyiksaan yang melarang terjadinya penyiksaan oleh pejabat publik dan termasuk orang suruhan pejabat publik yang berarti termasuk petugas Satpol PP. "Mereka diberi kekuasaan yang besar, misal mengejar PKL dan memukul mereka dengan pentungan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan," papar Ifdhal. Ia meyayangkan belum adanya kontrol terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan Satpol PP tersebut. "Kalau polisi ada mekanisme kontrol yang jelas, misalnya pelaku pelanggaran akan diadili, sementara untuk Satpol PP ini belum ada, padahal perbuatan kekerasan itu melanggar Konvensi Anti Penyiksaan," papar Ifdhal. Gubernur, Walikota dan Bupati disebutnya harus dapat menertibkan tindakan kekerasan yang kerap dilakukan Satpol PP.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007