Banjarmasin (ANTARA News) - "Saya sudah lama melarang anak menonton acara televisi di rumah, terutama untuk tayangan berita dan sinetron," kata Aris Jauhari. Sebagai seseorang yang malang-melintang dan memeroleh pencaharian dari bisnis industri televisi, Aris Jauhari seharusnya tidak berkata seperti itu. Tapi itulah pengakuan jujur Aris Jauhari, pendiri dan ketua pertama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Ia bahkan telah lama menganggap tayangan televisi "racun". "Saya sudah lama melarang anak menonton acara televisi, terutama untuk berita dan tayangan sinetron," ucapnya di hadapan peserta pelatihan media "Millennium Development Goal" (MDGs) di Banjarmasin 29-30 Oktober 2007. Aris yang belakangan menjadi juru bicara Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk MDGs wilayah Asia itu menyatakan kekhawatiran mendalam terhadap fungsi mediasi televisi. Sajian berita televisi yang penuh kekerasan dan gambar berdarah-darah, menurut Aris, telah menimbulkan dampak psikologis yang buruk bagi pemirsa terutama anak-anak. "Apa jadinya anak saya, kalau setiap hari menyaksikan gambar kekerasan, darah dan nanah," katanya. Aris sangat percaya televisi memiliki kekuatan untuk menggiring perilaku masyarakat. "Kalau anak-anak suka nonton tayangan kekerasan, lama-kelamaan mereka akan menganggap kekerasan adalah hal biasa, sehingga bukan mustahil jika mereka lantas ikut melakukan," ujarnya. Tak hanya berita, Koordinator Forum Komunikasi Praktis Media Nasional itu, memandang sinetron televisi di Indonesia juga penuh adegan kekerasan, mengeksploitasi kemewahan, serta menjadikan orang suka berkhayal dan tidak realistis. Senada dengan Aris Jauhari, praktisi media massa, Syaifulrahman Al-Banjari (Antv) juga sangat prihatin dengan terus memburuknya kualitas tayangan televisi. Sebagai seorang yang turut membesarkan industri televisi, Al-Banjari mengaku turut bersalah atas buruknya kualitas tayangan televisi di Tanah Air. Keadaan itu semakin memburuk, karena saat ini tayangan kekerasan diputar oleh stasiun televisi selama 24 jam tanpa henti, kata Aktivis Forum Komunikasi Praktis Media Nasional itu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberi peringatan tentang bahaya tayangan sinetron yang tidak layak tonton itu. "Meski peringatan itu terlambat, tapi masih lebih bagus dari pada tidak sama sekali," katanya. Meski tidak sedahsyat televisi, media cetak sebenarnya juga turut berperan dalam penyebaran kekerasan di masyarakat. Di Banjarmasin, misalnya, rata-rata halaman muka koran setempat menurunkan berita tentang acara dan sinetron tidak bermutu. Judul-judul sinetron penebar kekerasan seperti "Cowok Ideal" dan "Cinta Lama Bersemi Kembali", "Legenda Buta Kala" menghiasi koran lokal. Meskipun mengetahui MUI telah memberi anjuran agar menjauhi tayangan sinetron tidak mendidik, pemirsa tetap saja menonton tayangan itu. Di seantero kawasan Kelayanan dan Alalak, yang merupakan pemukiman padat di Banjarmasin, hampir setiap rumah tetap menyetel tayangan itu. "Warga Banjarmasin sudah begitu tergantung dengan tayangan televisi, sehingga mereka lupa dengan kemiskinan yang selama ini mendera mereka," kata tokoh masyarakat setempat. Diet Media Daerah lainnya di Indonesia, telah dilakukan berbagai aksi untuk menyelamatkan anak-anak dari perilaku buruk akibat menonton televisi. Seperti dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Timur yang terus mengkampanyekan perlunya "diet media". Diet media merupakan upaya untuk menekan dampak negatif televisi terhadap anak. Anak tetap bisa dibolehkan menikmati tontonan dilayar kaca, tapi dengan porsi dan tayangan yang tepat. Lewat diet media ini KPID memberikan saran-saran praktis yang harus dilakukan orangtua. "Diet media merupakan salah satu cara untuk mengurangi dampak negatif menonton TV dengan membatasi waktu menonton bagi anak-anak yang idealnya, yakni dua jam sehari. Diet media ini bukan hanya tanggung jawab ibu-ibu tapi juga kaum laki-laki," kata anggota KPID Jatim, Dr Catur Suratnoaji, MSi kepada ANTARA di Surabaya. Hal yang bisa dilakukan dalam diet media itu adalah dengan membuat jadwal dan perhitungan rata-rata menonton anak setiap hari selama satu minggu. Selain itu KPID juga menyebarkan kategori siaran yang layak ditonton anak, yang perlu diwaspadai dan yang berbahaya ditonton. "Beberapa siaran yang berbahaya ditonton anak, antara lain 'Si Entong', 'Sinchan' dan materi lain yang umumnya produksi luar negeri, sementara yang direkomendasikan ditonton antara lain 'Surat Sahabat', 'Si Bolang', 'Ayo Bermain' dan lainnya," katanya. Hasil penelitian rata-rata anak Indonesia menonton televisi selama 4,5 jam setiap hari, padahal waktu belajarnya hanya rata-rata empat jam. "Dari menonton televisi itu anak-anak kemudian mengadopsi kata-kata dan perilaku keseharian. "Oleh karena itu, perlu ada solusi untuk menyeimbangkan kebutuhan menonton televisi dengan membendung dampak negatifnya," katanya. Sementara Ketua KPID Jatim, Fajar Arifiyanto Isnugroho mengemukakan bahwa masyarakat perlu melakukan diet media karena saat ini televisi telah menjadi "tuhan" baru bagi masyarakat. "Apa yang disiarkan di TV kemudian dituruti atau diikuti oleh pemirsanya," kata mantan wartawan stasiun televisi nasional itu pada seminar "Mediasi Orangtua dalam Menonton TV". Terkait Kriminal Beberapa kasus tindak kriminal yang terjadi di wilayah hukum Polda Kalimantan Selatan beberapa di antaranya terkait langsung dengan pengaruh dari siaran televisi. Kasus warga Kelayan, Banjarmasin, yang ditangkap polisi sebagai pembuat pil ekstasi, kasus mutilasi dan sejumlah tindak kriminal lainnya diakui para pelaku karena mereka mencontoh berita dan tayangan televisi. Bahkan sejumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga juga diakui para pelakunya karena saat emosi naik, mereka terbayang apa yang pernah dilihat dari tayangan televisi. Bahkan penyebab perkelahian suami-isteri dan berbuntut tindak kekerasan, kerap kali berawal dari adegan sinetron. (*)

Pewarta: Oleh Mh. Yusuf
COPYRIGHT © ANTARA 2007