Oleh Dr. Edvin Aldrian *) Jakarta (ANTARA News) - Laporan penelitian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wetland International dan Delft Hydraulics pada awal November 2006 menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil emisi zat asam arang atau karbondioksida (CO2) ketiga dunia, setelah Amerika Serikat dan China. Dalam deklarasi jumlah emisi CO2 suatu negara adalah janggal untuk memasukkan unsur hutan, karena kebakaran hutan selama ini dianggap sebagai bencana alam. Tapi, stigma buruk yang menyebutkan Indonesia sebagai penghasil emisi CO2 terbesa tersebut dirujuk oleh LSM lainnya tanpa kajian dan tanggapan yang memadai. Hal ini perlu diwaspadai terutama dalam menyambut pelaksanaan Konperensi Para Pihak (Conference on Parties)-13 sekaligus Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Cuaca (United Nations for Climate Cahnge Conference/UNFCCC) di Bali pada Desember 2007. Menurut Wetland International (WI), akibat kebakaran hutan tahun 1997, 1998, dan 2002 yang menghabiskan lahan hutan antara 1,5 juta dan 2,2 juta hektar, telah diemisikan CO2 sebesar 3.000 hingga 9.400 Megaton/Mton (setara 818 hingga 2.563 Mton karbon dan setara antara 13 persen hingga 40 persen emisi dunia, dengan asumsi seluruh karbon adalah bagian dari CO2 hasil pembakaran). Pada bagian lain, laporan WI disebutkan bahwa nilai emisi karbon Indonesia dari kawasan gambut adalah 600 Mton akibat oksidasi karena pengeringan lahan dan 1400 Mton CO2 (setara 381 Mton karbon) akibat kebakaran lahan. Dari manakah asumsi angka tersebut? Penghitungan emisi karbon akibat kebakaran hutan dilakukan dengan mengacu pada beberapa asumsi dasar yaitu jenis lahan, daya bakar lahan, kedalaman lahan bakar (terutama bagi lahan gambut), faktor emisi dan kalibrasi sebaran bakar. Beberapa peneliti mencoba menghitung nilai emisi dari kebakaran hutan tahun 1997, yang merupakan bencana terparah sepanjang sejarah. Page dkk (2002) memperkirakan antara 810 hingga 2.563 Mton karbon, sementara Duncan (2003) melaporkan 700 Mton karbon, Levine (1999) mengestimasi 245 Mton karbon dan Heil, Langmann dan Aldrian (2007) melaporkan 1.098 Mton karbon. Alhasil angka yang dikeluarkan WI berasal dari estimasi Page dkk (2002) yang memiliki tingkat ketidak percayaan tinggi (rentang nilai yang lebar) dan juga diragukan oleh peneliti di atas lainnya. Hingga saat ini hanya estimasi dari kebakaran hutan tahun 1997 yang selalu dirujuk dan belum ada publikasi komprehensif untuk kebakaran tahun sesudahnya. Tapi, estimasi emisi karbon antara tahun 1998 hingga sekarang dapat dilakukan dengan mengacu pada asumsi yang sama dengan variasi dari jumlah titik api (hotspot) dan satuan jenis lahan (apakah lahan gambut atau bukan). Laporan titik api hasil pemantauan dari satelit NOAA 14 dan 18 dapat diperoleh untuk melakukan kalkulasi emisi tersebut. Hasil estimasi emisi karbon Indonesia akibat kebakaran hutan sepuluh tahun terakhir terlihat pada Tabel 1. Terlihat bahwa nilai emisi tertinggi mencapai 13 kali lipat dari nilai terendah. Dengan demikian nilai tengah yang mereka pakai untuk menobatkan Indonesia di posisi ketiga kurang sesuai. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa variasi titik api bulanan sangat dipengaruhi oleh variasi iklim. Hasil korelasi jumlah titik api paruh kedua tahunan (antara Juli hingga Desember) di pulau Sumatera dan Kalimantan dengan indeks iklim di Samudra Pasifik (indeks fenomena El Nino) menunjukkan tingkat korelasi sangat tinggi yaitu di atas 90 persen. Hal ini membuktikan kuatnya peran iklim dalam mendorong kasus kebakaran, meski disadari bahwa sebagian besar pelaku kebakaran adalah akibat aktivitas manusia sehingga dapat dipastikan Indonesia sebagai korban variasi tahunan iklim regional yang nyata. Hasil estimasi emisi karbon serta hubungan kebakaran hutan tahunan dan iklim membawa beberapa implikasi berikut. Besar kecilnya angka titik api kebakaran hutan tahunan menunjukkan rentannya posisi Indonesia terhadap situasi iklim regional. Hal serupa juga dialami oleh Yunani dan Amerika Serikat pada musim panas tahun ini. Nilai yang dipublikasi oleh WI sebagai dasar Indonesia ranking tiga besar dunia memakai porsi lahan gambut dari seluruh lahan terbakar yaitu sekitar 1.400 Mton CO2 (setara dengan 381 Mton karbon). Nilai itu apabila dibandingkan dengan fluktuasi nilai emisi tahunan dari seluruh lahan terbakar (Tabel 1) menunjukkan angka yang terlalu tinggi terutama pada tahun-tahun non El Nino yaitu 1998, 1999, 2000, 2001, 2003, 2005 dan 2007 (proyeksi). Pada tahun-tahun tersebut dapat dipastikan bahwa emisi karbon Indonesia tidak menempati ranking tiga dunia. Estimasi ini hanya memasukkan faktor kebakaran hutan tanpa memasukkan nilai daya serap hutan disaat tidak terjadi kebakaran. Dalam perhitungan emisi karbon global beberapa negara sudah memasukkan unsur daya serap hutan mereka, sedangkan untuk hutan Indonesia hal ini belum dilakukan karena belum ada kesepahaman metoda. Kesalahan terakhir adalah asumsi bahwa seluruh hasil pembakaran berbentuk CO2 bukan senyawa karbon lainnya. Dari data "global fire" keluaran ATSR "hotspot" dari pusat antariksa Eropa (ESA) menunjukkan baik tahun 1997 dan 2006 dimana terjadi kebakaran hebat di Indonesia, terutama pada bulan September, menunjukkan bahwa situasi kebakaran di Indonesia tidak lebih parah dari kebakaran di Brazil dan benua Afrika. Ilustrasi hasil penelitian Duncan (2003) menunjukkan peta penyebaran asap akibat kebakaran hutan Indonesia yang tidak lebih buruk dibandingkan Brazil dan Afrika pada Aerosol Indeks (AI), nilai konsentrasi emisi CO2 dan jumlah titik api dari ATSR. Data hasil observasi konsentrasi CO2 di stasiun GAW Koto Tabang (Bukit Tinggi) yang merupakan stasiun standar resmi World Meteorological Organization selalu menunjukkan kadar konsentrasi CO2 lebih rendah dari stasiun referensi dunia di Mauna Loa (Hawaii). Data dari empat tahun terakhir yang juga melewati masa kebakaran hutan parah tahun 2006 tetap menunjukkan nilai kadar konsentrasi CO2 lebih rendah. Wilayah Koto Tabang dilewati polutan asap dari kebakaran di Sumatera bagian selatan menurut berbagai model. Nyatalah, bahwa kita harus selalu waspada akan berbagai upaya yang mencoba mendiskreditkan posisi Indonesia dalam post Kyoto Protokol, perdagangan emisi global dan upaya pemerintah untuk mengurangi dampak kebakaran hutan. Apalagi Indonesia sedang dalam proses ratifikasi UU ASEAN Transboundary Haze. Posisi estimasi emisi karbon ini perlu diangkat dalam negosiasi karbon global serta memposisikan kepentingan rehabilitasi dan pelestarian lahan gambut yang kita miliki. Tabel 1.Estimasi emisi karbon akibat kebakaran hutan sejak 1997. Perhitungan 2007 memakai data hingga akhir Oktober. C emission 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 (Mton Karbon) Heildkk 1098 295 170 83 176 601 324 520 462 971 143 Levine 245 66 38 18 39 134 72 116 103 217 32 Pagedkk 810 218 125 61 130 443 239 384 341 716 105 Pagedkk 2570 691 398 194 412 1406 759 1217 1080 2273 334 Duncan 700 188 108 53 112 383 207 332 294 619 91 Tabel 2. Variasi tahunan titik api pulau Kalimantan dan Sumatera dihubungkan dengan indeks El Nino (anomali NINO3 SST) Tahun Kalimantan Sumatera Jul-Dec SST-anom annual SST anom 1997 72760 65235 3.15 1.50 1998 1870 7562 -0.70 0.51 1999 10130 12419 -1.16 -0.96 2000 2343 3829 -0.56 -0.61 2001 16141 5747 -0.42 -0.28 2002 37898 18039 0.91 0.49 2003 21913 12690 0.29 0.11 2004 38175 20212 0.31 0.16 2005 7355 9324 -0.24 -0.02 2006 71512 41293 0.65 0.21 *)Penulis adalah Peneliti Madya Meteorologi Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (UPTHB-BPPT); Kontributor referensi Panel Antar-Pemerintahan untuk Perubahan Cuaca (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) 2007.

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007