Jakarta (ANTARA News) - Menurut kajian Bank Indonesia (BI), sistem keuangan ke masa depan memiliki prospek yang stabil dan terkendali, meski terjadi goncangan eksternal seperti kasus subprime mortgage dan kenaikan harga minyak yang menembus angka 90 dolar Amerika Serikat (AS) per barel yang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global. "Stabilitas sistem keuangan kita aman," kata Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Halim Alamsyah, dalam seminar "Kajian Stabilitas Keuangan" di gedung BI Jakarta, Senin. Hasil "stress test" BI, menurut dia, menunjukan perbankan memiliki ketahanan yang memadai terhadap berbagai goncangan akibat perubahan variabel makroekonomi (nilai tukar dan suku bunga)akibat guncangan dari luar. BI juga menyatakan, korporasi besar yang mendapatkan pinjaman dalam bentuk valuta asing seperti dolar AS, terindikasi juga memiliki ketahanan yang cukup kuat terhadap perubahan nilai tukar. Sedangkan kemungkinan (probability ofdefault) sekitar 75 an perusahaan yang memiliki rasio utang atas modal (debt equity ratio) di atas 100 persen dan utang valuta asing di atas 50 persen diperkirakan mengalami peningkatan. Namun demikian, pembentukan cadangan dan kuatnya permodalan perbankan diperkirakan dapat mencegah hal tersebut menjadi sumber instabilitas. Sementara itu, berdasarkan perhitungan yang dilakukan BI, indeks stabilitas keuangan (Finacial Stability Index/FSI) pada akhir semester satu menurun menjadi 1,21 dibandingkan pada semester II 2006 yang mencapai 1,37. Sedangkan pada semester II FSI diperkirakan 1,27. Hasil penilaian BI terhadap beberapa resiko pokok juga menunjukan peningkatan. Menurut dia, hasil penilaian untuk resiko pasar yang dipengaruhi oleh variabel nilai tukar, suku bunga, dan harga Surat Utang Negara (SUN) tetap terkendali. Risiko likuiditas, dari hasil penilaian menurut dia, tetap terjaga dengan kecenderungan menurun sejalan dengan perbaikan kualitas manajemen risiko perbankan. Sedangkan risiko operasional perbankan masih menghadapi berbagai tantangan. "Sehingga secara keseluruhan prospek sektor keuangan ke depan akan tetap stabil dan terkendali," katanya. Namun demikian, pihaknya tetap mengawasi pengaruh eksternal seperti banyaknya dana di dunia yang mendorong peningkatan arus modal berjangka pendek yang masuk ke Indonesia, adanya ketidak-seimbangan global, potensi lonjakan harga minyak dunia, serta masih adanya dampak dari kasus subprime mortgage. Perwakilan IMF di Indonesia Stephen Schwartz menyatakan guncangan eksternal memiliki pengaruh yang rendah terhadap kawasan Asia termasuk Indonesia. Manajemen makro ekonomi yang kuat dan nilai tukar yang fleksibel, kuatnya pertumbuhan ekonomi dan permintaan terutama India dan Cina, pertumbuhan perdagangan dalam kawasan mempengaruhi daya tahan sistem keuangan terhadap gejolak eksternal saat ini. Selain itu, hampir tak ada perbankan ataupun lembaga keuangan yang berhubungan langsung dalam kasus subprime mortgage membuat pengaruh negatif kasus tersebut sangat terbatas kepada Indonesia. Ia juga menyatakan, diversifikasi pasar tujuan ekspor Indonesia seharusnya juga akan membantu membatasi dampak dari penurunan permintaan barang dari AS akibat perlambatan ekonomi global. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007