Kupang (ANTARA News) - Sebanyak 16 'manusia perahu' yang ditangkap kapal patroli Angkatan Laut Australia di Laut Timor pada Rabu (21/11) lalu, yang berniat meminta suaka kepada Negeri Kanguru itu, berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Mereka terdiri atas tiga kepala keluarga atau sekitar 16 jiwa (10 orang di antaranya adalah anak-anak). Mereka tidak mau pulang lagi ke Rote setelah pemerintah Australia melarang penangkapan ikan di sekitar Pulau Pasir," kata Sadli Azhari, salah seorang nelayan asal Rote yang dihubungi ANTARA dari Kupang, Jumat. Sebelumnya, Kantor Berita Prancis (AFP) dengan mengutip pernyataan dari Menteri Pertahanan Australia, Brendan Nelson, bahwa 16 orang perahu itu diselamatkan oleh kapal patroli Angkatan Laut ( AL) Australia ketika perahu yang mereka tumpangi tenggelam di Laut Timor pada Selasa (20/11). Nelson mengatakan kebangsaan dari orang-orang perahu itu belum diketahui dan juga belum jelas apakah mereka adalah para pengungsi yang ingin mendapatkan perlindungan kepada Australia. Australia sendiri memberlakukan sikap keras terhadap para pendatang tak resmi, yang sebagian besar dibawa ke Pulau Nauru di Pasifik untuk mendapatkan proses imigrasi. Sadli Azhari yang sudah beberapa kali ditangkap patroli AL Australia atas tuduhan memasuki wilayah perairan negara itu secara ilegal menjelaskan tiga kepala keluarga (Sengaji Djawa, Sukardi Liksi dan Sadar) bersama anak-anak mereka berangkat dari Pulau Rote pada Senin dini hari menuju perairan Laut Timor. Ketiga kepala keluarga yang berasal dari Desa Lunda Lusi, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Pulau Rote, sekitar 40 mil dari Kupang, kata Sadli Azhari mengutip keterangan mereka sebelum bertolak ke Laut Timor, bertekad ke Australia karena terhimpit masalah ekonomi setelah Australia melarang penangkapan ikan dan biota laut lainnya di sekitar Pulau Pasir. Menteri Pertahanan Australia, Brendan Nelson, mengatakan sebuah fasilitas minyak lepas pantai memergoki perahu tersebut dalam keadaan bahaya di lepas pantai barat daya Australia Barat pada Selasa (20/11). Kapal patroli HMAS Ararat dan kapal pendarat HMAS Tarakan menjawab seruan perahu itu dan mereka menemukan perahu kayu berukuran panjang sekitar 10 meter itu tenggelam dan mesinnya patah. Para awak kapal tersebut segera melakukan upaya penyelamatan sebelum perahu tersebut karam dan para penumpangnya dipindahkan ke kapal angkatan laut. "Perahu tersebut tenggelam dengan cepat, sementara itu sebagian penumpang juga masuk ke laut. Tetapi, 16 orang penumpang yang berada di dalam perahu itu (tiga lelaki, tiga perempuan dan 10 anak-anak) tidak mengalami cedera dalam peristiwa itu," kata Nelson. Sadli Azhari dengan mengutip laporan keluarga mereka di Darwin, Australia, para nelayan asal Pulau Rote itu di antar kapal AL Australia menuju Pulau Christmas, sekitar 500 km dari Jakarta, dalam keadaan sehat. Alasan klasik Pengamat hukum laut internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum, yang dihubungi secara terpisah mengatakan alasan yang dikemukakan Australia bahwa perahu mereka tenggelam sehingga dilakukan upaya penyelamatan, bukan sesuatu yang baru. "Australia biasa mengajukan alasan klasik seperti itu untuk melancarkan operasi `illegal fishing` yang sudah dua tahun berjalan," katanya, seraya menambahkan tuduhan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia sebagai `illegal fishing` adalah sangat tidak logis. Menurut dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu, sebenarnya tidak ada pelaku `illegal fishing` di Laut Timor, karena batas-batas dasar laut tertentu dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara RI-Australia belum berlaku sah. Karena itu, kata dia, masalah ini harus dibicarakan kembali secara trilateral antara RI, Australia, dan Timor Leste yang telah berdiri menjadi sebuah negara baru setelah lepas dari Indonesia melalui referendum pada 30 September 1999. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007