Yogyakarta (ANTARA News) - Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) untuk memilih lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007 - 2011 yang dilakukan DPR RI dinilai sebagai `sandiwara besar`, dan hasilnya menjadi isyarat atas matinya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. "Itu hanya sandiwara besar, karena dengan terpilihnya lima nama calon pimpinan KPK di antaranya Antasari Asy`ar dari Kejaksaan dan Bibit Samad Riyanto dari Polri, menimbulkan kekhawatiran masyarakat bahwa dalam memberantas korupsi, KPK tidak seperti yang diharapkan," kata Zainal Arifin Mochtar, peneliti pada Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis. Ia mengakui seleksi calon pimpinan KPK dari awal lebih transparan dan melibatkan masyarakat sipil, namun hasil uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan DPR RI tidak seperti yang diharapkan publik. "KPK masih merupakan komisi perwakilan kejaksaan dan kepolisian. Dengan terpilihnya Antasari Asy`ar dan Bibit Samad Riyanto dalam jajaran pimpinan KPK, menjadi bukti bahwa paradigma kuota institusi penegak hukum masih digunakan oleh DPR RI," katanya. Padahal, kata dia, dalam Undang-undang (UU) KPK dengan tegas dinyatakan KPK dibentuk karena Kejaksaan dan Polri tidak optimal dalam upaya memberantas korupsi. "Sehingga, dengan menyerahkan pimpinan KPK kepada orang yang berasal dari kejaksaan dan kepolisian, sama saja membuat KPK semakin mundur," katanya. Kata Zainal, dari kelima pimpinan KPK tersebut, tidak satupun yang berasal dari komisioner lama (orang lama). Padahal, untuk menjaga kesinambungan sebuah komisi negara, sangat dibutuhkan perwakilan dari komisioner lama, sehingga terjadi proses kesinambungan penanganan kasus. "DPR RI telah `mati rasa`, karena pilihan DPR itu 180 derajat berbeda dengan pilihan publik," katanya. Ia mengatakan, jauh hari sebelumnya publik sudah menyuarakan agar DPR RI tidak memilih calon pimpinan KPK yang bermasalah khususnya dari unsur Kejaksaan dan Polri, namun kenyataannya DPR RI melakukan sebaliknya. Bahkan dari hasil voting di DPR RI, calon dari unsur Kejaksaan dan Polri memperoleh dukungan paling banyak. "Fit and proper test yang dilakukan hanya akal-akalan, dan janji DPR RI untuk memilih pimpinan KPK dengan tingkat kredibilitas tinggi ternyata tidak terbukti," katanya. Padahal sebelumnya DPR RI menjanjikan akan melakukan investigasi track record masing-masing calon pimpinan KPK. Tetapi tampaknya tidak dilakukan. Sementara itu, di halaman kantor Pukat Korupsi Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dikibarkan bendera `merah putih` setengah tiang sebagai ungkapan rasa bela sungkawa atas matinya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007