Brisbane (ANTARA News) - Konsulat RI Perth siap memberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) kepada 16 orang "manusia perahu" asal Indonesia, termasuk 10 orang anak-anak, kapan saja kantor imigrasi Australia memintanya untuk keperluan repatriasi mereka dari Pulau Christmas, Australia Barat. "Kita siap memberikan SPLP kapan saja diperlukan. Namun hingga hari ini, kita belum menerima surat permintaan repatriasi dari kantor imigrasi Australia. Hanya saja, KBRI Canberra sudah meminta kita untuk standby (bersiap-siap)," kata Konselor Fungsi Kekonsuleran KRI Perth, Andi Bestari, Sabtu. Kepada ANTARA News yang menghubunginya dari Brisbane, Andi mengatakan, pihaknya belum tahu apakah ke 16 orang warga Indonesia itu akan dipulangkan ke Indonesia lewat Perth atau daerah mana. "Yang pasti, kami berkoordinasi dengan kantor imigrasi Australia untuk kepentingan repatriasi mereka," katanya. Merujuk pada kasus penahanan beberapa pelaut Indonesia di Broome, Australia Barat, karena terlibat dalam penangkapan ikan secara ilegal, mereka umumnya berada di Broome untuk sementara waktu sebelum kemudian diproses lebih lanjut di Darwin, Northern Territory (NT), katanya. Sehari sebelumnya, Menteri Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia Senator Chris Evans mengatakan, pihaknya akan segera memulangkan 16 orang manusia `perahu` asal Pulau Rote yang ditahan di Pulau Christmas, Australia Barat, menyusul rampungnya wawancara dan pemeriksaan kesehatan mereka. "Kementerian saya secara hati-hati menelusuri alasan kelompok ini datang ke Australia," katanya. Namun, Senator Evans tidak menjelaskan waktu pasti pemulangan ke-16 orang Indonesia yang perahu kayu bermotor yang mereka gunakan untuk berlayar ke Australia dari Pulau Rote tenggelam di perairan utara Australia 20 November lalu. Ia mengatakan, berdasarkan informasi yang ada, mereka tidak menyampaikan masalah-masalah yang dapat melibatkan kewajiban perlindungan Australia di bawah Konvensi tentang Pengungsi. "Saya pendukung utama Konvensi tentang Pengungsi ini dan Australia termasuk diantara tiga negara di dunia yang menerima para pengungsi untuk tinggal," katanya. Sebelum ditahan di Pulau Christmas, ke-16 orang Indonesia asal Pulau Rote itu diselamatkan kapal patroli HMAS Ararat dan HMAS Tarakan saat perahu bermotor mereka tenggelam di laut sekitar 650 kilometer barat Darwin, Northern Territory, 20 November lalu. Terkait dengan kasus "manusia perahu" ini, Eric Abetz, menteri perikanan dalam pemerintahan PM John Howard, menolak membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis dari ketegasan hukum Australia terhadap nelayan-nelayan yang menangkap ikan secara ilegal di perairan utara negara itu. Penolakan itu disampaikan Abetz menyusul gencarnya laporan media setempat bahwa ke-16 orang yang nekad meninggalkan kampung halaman mereka di Pulau Rote ke Australia adalah para keluarga nelayan kecil. Abetz menegaskan bahwa bukan urusan dia jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumberdaya perikanan Australia. ABC menyebutkan bahwa para nelayan Indonesia dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, termasuk nelayan yang terkena dampak dari ketegasan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan penangkapan ikan secara ilegal. Pemerintah Australia menggelontorkan dana sebesar 603 juta dolar untuk menangani pencurian ikan di perairannya. Upaya itu telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara negaranya hingga 90 persen. Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Pemerintah RI dan Australia pada November 1974 yang kemudian dikenal dengan sebutan MoU Box 1974, Australia tetap mengakui hak para nelayan tradisional Indonesia yang telah berabad-abad lampau mencari penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar gugusan pulau karang negara itu. Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut. Hanya saja Australia kemudian menetapkan kawasan tersebut sebagai taman nasional. Menurut nota kesepahaman (MoU) 1974 itu, kawasan yang disepakati Australia dan Indonesia dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya. Beberapa waktu lalu, Peneliti senior bidang perikanan dan pertanian Australia yang juga mantan Dirjen "World Fish Center", Dr. Meryl J. Williams, dalam laporan studinya yang dipublikasi Lembaga Kajian Kebijakan Internasional, Lowy Institute, merekomendasikan kepada Australia untuk mengubah pengaturan akses jangka panjang bagi para nelayan Indonesia atas sebagian wilayah perairan utara negara itu sesuai dengan isi MoU Box 1974. Williams juga meminta Pemerintah Australia untuk terus bekerja sama dengan Indonesia dalam menciptakan pemahaman dan pendefinisian pola-pola pemakaian kapal ikan di wilayah konservasi yang disepakati dalam MoU Box 1974 itu. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007