Bogor (ANTARA News) - Dalam ilmu gizi dan kesehatan, penggunaan minyak goreng bekas, apalagi yang telah dipakai berkali-kali hingga warnanya berubah menjadi hitam pekat, sangat tidak disarankan. Minyak bekas atau yang populer disebut "jelantah", tak baik untuk dikonsumsi karena mengandung asam lemak jenuh yang bisa menyebabkan timbulnya sejumlah penyakit, kata ahli Gizi Univeritas Andalas (Unand), Dr Zulkarnain Agus MPH. Oleh karena itu, ia menyarankan ibu rumah tangga tidak menggunakan jelantah untuk memasak makanan. "Sebaiknya minyak goreng sekali pakai saja, dan jika masih bersisa sebaiknya dibuang, karena minyak bekas struktur kimianya sudah berubah, jika dikonsumsi berbahaya," katanya. Sejumlah penyakit yang bisa timbul akibat mengonsumsi jelantah, antara lain penyempitan pembuluh darah, yang berisiko memicu penyakit jantung koroner, stroke dan hipertensi. "Minyak jelantah juga tergolong radikal bebas dan bisa merusak pembuluh darah," tambahnya. Penggunaan jelantah marak terjadi pada saat harga minyak goreng melambung, sehingga guna penghematan, ibu rumah tangga kemudian memakainya. Kondisi itu terjadi pada pertengahan Juni 2007. Demi penghematan pula, beberapa pedagang "mengakali" menjernihkan minyak goreng dengan oksigen feroksida (H2O2). H2O2 memang bisa membuat warna hitam dan bau pada minyak jelantah hilang, dan minyak jelantah itu menjadi seperti minyak goreng curah murni yang baru. Tapi bila digunakan dalam jangka waktu lama bisa berbahaya bagi kesehatan, karena asam lemak jenuh tetap tidak terurai, bahkan minyak itu menjadi terkontaminasi zat kimia (H2O2) Bahan H2O2 sendiri sangat mudah didapat karena bisa dibeli di toko-toko kimia dengan harga sekitar Rp7.000 per liter. Seliter H2O2 ini dapat memurnikan sekitar 1 drum minyak jelantah. Pionir Namun, Kota Bogor punya cara berbeda memanfaatkan "jelantah", yang tidak membahayakan kesehatan manusia, tapi justru membantu mengurangi polusi udara dan efek rumah kaca. Minyak jelatah, oleh pemerintah kota hujan itu dijadikan bahan bakar nabati (biodiesel) dan yang menjadi pionirnya adalah pengelola bus --tepatnya mini bus- "Trans Pakuan". Bila datang ke "Kota Hujan", kita akan melihat bus Trans Pakuan, yang bagian belakangnya tertera tulisan "Bus Ini Menggunakan Jelantah Sebagai Bahan Bakar". Bus Trans Pakuan sendiri, adalah salah satu upaya Pemerintah Kota Bogor untuk mengurai kemacetan, karena sedemikian banyaknya angkutan kota (Angkot) yang ada di kota ini. Bogor membutuhkan moda transportasi yang efektif untuk bisa melayani masyarakat, dengan kendaraan yang daya angkutnya lebih banyak. Pada sebuah lokakarya pada awal Juli 2007 dengan tema "Kebijakan Lokal untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dalam Mengendalikan Perubahan Iklim Akibat Pemanasan Global", Asisten Daerah Bidang Sosial Ekonomi (Asda Bidang Sosek) Pemerintah Kota Bogor, Indra M Rusli mengungkap ikhwal penggunaan jelantah itu sebagai bahan bakar untuk bus Trans Pakuan. Awalnya adalah ujicoba yakni minyak jelantah digunakan sebagai zat aditif (tambahan) sampai 20 persen dari bahan bakar solar. Dengan dilakukannya uji coba minyak jelantah ini, Pemerintah Kota Bogor melakukan dua langkah antisipasi sekaligus. Pertama, selama ini minyak jelantah dari restoran cepat saji dan restoran besar lainnya dijual kepada pedagang kaki lima dan dipakai lagi untuk menggoreng. "Padahal, jika minyak jelantah tetap digunakan untuk menggoreng, bisa menimbulkan penyakit," katanya. Kedua, kendaraan bermotor, termasuk bus Trans Pakuan yang menggunakan bahan bakar minyak, menimbulkan emisi gas buang. Sedangkan, minyak goreng jelantah yang dibuat dari bahan baku nabati lebih ramah lingkungan. Langkah yang dilakukan, Pemerintah Kota Bogor membeli minyak jelantah dari restoran-rentoran besar dan menukarnya dengan minyak goreng baru dengan perbandingan 1:8. Minyak jelantah itu dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bakar alternatif. "Penggunaan minyak jelantah pada bus Trans Pakuan, bisa mengurangi efek penyakit pada masyarakat, sekaligus mengurangi emisi gas buang dari kendaraan bermotor," katanya. Diakuinya, rencana uji coba itu sudah sering didiskusikan dengan para pakar, terutama pakar biodiesel dan biofuel. Dasar pertimbangannya, kata dia, biodiesel dan biofuel yang ramah lingkungan dibuat dari bahan baku CPO (crude palm oil) dan minyak jarak. Padahal, CPO adalah bahan baku minyak goreng. "Karena itu, minyak goreng juga bisa menjadi bahan bakar alternatif kendaraan bermotor," katanya. Kemudian untuk mewujudkan pemanfaatan jelantah menjadi bahan bakar alternatif, Indra M Rusli mengundang para pengusaha di kota Bogor untuk mendiskusikan rencana tersebut. Pada Agustus 2007 hadir sebanyak 24 pengusaha meliputi, perhotelan, restoran, dan pengusaha jasa lainnya yang usahanya menggunakan minyak goreng, dan meminta masukan dan kontribusi terhadap rencana Pemerintah Kota Bogor untuk memanfaatkan minyak jelantah menjadi bahan aditif BBM (bahan bakar minyak) untuk bus Trans Pakuan. "Jika program ini berjalan baik, maka Kota Bogor akan menjadi kota pertama yang memanfaatkan minyak jelantah sebagai biofuel untuk transportasi kota," katanya Keuntungan penggunaan minyak jelantah ini antara lain mengurangi limbah, lebih ramah lingkungan, mengurangi emisi gas buang, sehingga bisa melestarikan lingkungan hidup. Dalam mewujudkan rencana ini, kata dia, kontribusi dari pengusaha sebagai bagian dari elemen masyarakat sangat besar, terutama dalam pengadaan minyak jelantah. "Pemerintah Kota Bogor siap menampung limbah minyak jelantah dari restoran, hotel, dan usaha lainnya yang menggunakan minyak goreng. Kompensasinya, Pemerintah Kota Bogor akan memberikan barter dengan minyak goreng baru dengan perbandingan tertentu yang bisa didiskusikan bersama, misalnya satu berbanding delapan," katanya. Jika restoran dan hotel menganggap minyak jelantah sebagai limbah yang tidak dimanfaatkan lagi, Pemkot Bogor akan memanfaatkannya menjadi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Mekanisme pengumpulan minyak jelantah dilakukan oleh petugas dari Dinas Lalulintas Angkutan Jalan (DLLAJ), Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK), setiap pekan ke setiap tempat usaha. Minyak jelantah kemudian disortir oleh tim dari petugas yang ditunjuk tersebut. Jika masih layak akan didistribusikan ke PD Jasa Trans Pakuan, kemudian jika tidak layak akan dibuang. Kini, jelantah terbukti sudah mampu memberikan "iuran" bagi upaya upaya-upaya penggunaan BBM yang ramah lingkungan, dan bus Trans Pakuan adalah pionirnya.(*)

Pewarta: Oleh Andy Jauhari
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008