Jakarta (ANTARA News) - Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, menilai usalan pemberian maaf terhadap mantan Presiden Soeharto serta usulan mengesampingkan perkara pidananya (deponering) merupakan penghinaan terhadap penderitaan para korban Orde Baru. "Ini adalah penghinaan terhadap penderitaan para korban Orde Baru. Alih-alih pemerintah dan aparat hukum menciptakan terobosan hukum dengan pengadilan 'in absentia' terhadap Soeharto misalnya, malah ikut sibuk mendramatisasi kesehatan Soeharto," katanya di Jakarta, Minggu. Menurut Hendardi, perhatian pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wapres Jusuf Kalla terhadap kesembuhan Soeharto berikut tingkah" anasir-anasir Orde Baru yang mengusulkan pemberian maaf dan pendeponiran kasus hukumnya, bukan saja berlebihan, tetapi juga pengulangan "opera konyol" yang kerap muncul ketika Soeharto masuk rumah sakit. "Presiden dan Jaksa Agung sudah berganti-ganti sejak reformasi, tapi semua sama, tidak ada yang punya nyali politik." tegasnya. Proses hukum terhadap mantan Presiden Soeharto memang menjadi pro kontra di kalangan masyarakat, menyusul dirawatnya kembali mantan pemimpin Orde Baru tersebut karena masalah kesehatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, sejak Jumat (4/1). Ketua Umum DPP PPP, Suryadharma Ali yang juga Menneg Koperasi dan UKM, berharap agar penanganan berbagai kasus hukum yang melilit Soeharto sebaiknya dihentikan sebagai penghormatan atas jasa-jasanya. Sebagai warga negara, ia mengatakan dirinya memiliki pandangan agar penanganan kasus-kasus hukum yang diduga dilakukan oleh mantan presiden itu bisa dihentikan. Suryadharma beralasan bahwa bangsa Indonesia harus menghormati Soeharto itu sebagai orang tua yang telah berusia 86 tahun serta kondisi fisiknya yang sudah sangat lemah serta sering sakit-sakitan. Sementara DPP Partai Golkar secara resmi meminta pemerintah memberikan kepastian hukum atas mantan Presiden Soeharto dengan cara mengesampingkan perkaranya (deponering). "Sesuai pasal 35 c UU Kejaksaan, kewenangan itu dapat dilakukan oleh Jaksa Agung," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono. Dengan alasan Soeharto tidak sehat, Agung mengatakan Pak Harto sampai saat ini tidak layak diperadilkan. Agung yang juga merupakan Ketua DPR itu mengatakan, "Status ini belum pasti kecuali para dokter menyatakan ia sehat, dan bisa dibuktikan". Partai Golkar juga mengimbau negara dan seluruh lapisan masyarakat untuk memperlakukan dan memberikan penghormatan kepada Pak Harto dengan sebaik-baiknya sebagai mantan kepala negara dan juga mengingat jasa-jasa Pak Harto yang besar kepada bangsa dan negara. Namun sebaliknya, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, memaafkan Soeharto bukan berarti menghentikan proses hukum terhadap Presiden Indonesia kedua tersebut. Gus Dus mengakui, sebagai pemimpin maka Soeharto mempunyai kelebihan dan kekurangan. "Beliau memang bersalah, tetapi beliau juga memiliki jasa bagi bangsa dan negara Indonesia," ujarnya. Gus Dur menilai sosok Soeharto sebagai figur yang penuh pertimbangan dan perencanaan matang, dalam mengelola bangsa dan negara ini. "Jadi, tidak masalah jika ada imbauan agar Soeharto diberi penghargaan sebagai tanda penghormatan semasa beliau memimpin," ujarnya. Akan tetapi penghargaan dan pemberian maaf itu, lanjut Ketua Dewan Syuro PKB itu, tidak menghentikan proses hukum terhadap Soeharto, apalagi kondisi kesehatan mantan orang nomor satu itu sudah mulai membaik. Sementara mantan tahanan politik era Orde Baru yang kini menjadi Wakil Ketua MPR, AM Fatwa mengaku memaafkan dan tidak dendam terhadap mantan Presiden Soeharto, namun meminta agar proses hukum terhadap pemimpin Orde Baru tersebut tetap berjalan sebagaimana mestinya. Ia menyatakan bahwa sebagai pemimpin yang pernah berkuasa dan sebagai rasa kemanusiaan, maka Soeharto layak untuk tetap dihormati. Namun, katanya, proses hukum bagi mantan Presiden Soeharto tetap harus berjalan sebagaimana mestinya. "Hukum berproses sebagaimana mestinya karena itu memang sudah tekad proses reformasi," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008