Yogyakarta (ANTARA News) - "Otomatis Romantis", film drama komedi karya sutradara Guntur Soeharjanto, mengisahkan dua anak muda dalam proses pencarian cinta sejati. Karya sinema tersebut mencoba mengangkat kenyataan sosial yang selama ini terpendam, yakni hubungan asmara antara wanita sukses dengan seorang pria miskin. "Film ini sengaja menghadirkan realita sosial di masyarakat, yakni kelas sosial, di mana selama ini yang banyak ditampilkan adalah kisah laki-laki kaya yang menjalin cinta dengan perempuan miskin. Dalam film ini, kami mencoba menghadirkan dengan membaliknya," kata Guntur Soeharjanto di sela peluncuran film "Otomatis Romantis" di Yogyakarta, Minggu. Sinema yang dibintangi Tora Sudiro, Marsha Timothy, Wulan Guritno dan Tukul Arwana itu berkisah tentang konflik seputar hubungan asmara antara wanita sukses dan laki-laki miskin dengan segala permasalahan yang melingkupinya dalam kemasan komedi. "Film ini berkisah tentang Nadia yang diperankan Marsha Timothy, seorang wanita muda, cantik dan sukses sebagai jurnalis di sebuah majalah wanita, yang selalu merasa dirinya tidak mampu menemukan pasangan yang ideal," katanya. Hal ini sangat ironis dengan kehidupannya, mengingat Nadia terkenal sebagai pakar dalam urusan percintaan dan memberikan tips jitu dalam mencari pasangan ideal di majalah tempatnya bekerja. "Tak disangka, seorang Bambang yang diperankan Tora Sudiro, pria desa yang lugu, bersahaja, yang bekerja sebagai karyawan bagian admistrasi dan selalu tulus dalam melakukan segala hal, justru menyentuh hatinya," katanya. Sayangnya, rasa gengsi Nadia yang cukup besar tidak mampu mendorong wanita cantik itu mengungkapkan isi hatinya kepada karyawan yang selalu menganggap dirinya seorang atasan yang harus dihormati. "Gelagat ini tercium oleh Nabila yang diperankan Wulan Guritno, kakak Nadia yang sepenuhnya mendukung perasaan sang adik," katanya. Namun, Nadia khawatir terhadap sikap Bambang yang nantinya akan mengikuti jejak Dave yang diperankan Tukul Arwana, suami Nabila, yang dulunya juga pria lugu dan kampungan (ndeso), mendadak berubah total menjadi pria tengil dan genit setelah kaya dan sukses. "Saat Nadia tak sanggup lagi membohongi perasaannya dan nekat menyatakan cintanya pada Bambang, tanpa diduga pria lugu ini malah mengungkapkan keinginannya untuk menikahi kekasih Trisno," katanya. Trisno adalah kakak Bambang yang diperankan Dwi Sasono, dan menghamili kekasihnya tanpa mau bertanggung jawab, serta pergi dengan begitu saja. Guntur, sutradara kelahiran Temanggung (Jawa Tengah) pada 1976, mengatakan bahwa dalam pembuatan film yang hanya membutuhkan waktu sepuluh hari itu dirinya terkendala sulitnya mengatur waktu, karena para pemainnya memiliki kesibukan yang luar biasa. "Cukup sulit untuk mengatur waktu, karena film ini didukung aktor dan aktris yang memiliki kesibukan luar biasa, seperti bagaimana sibuknya Tora, Marsha dan Wulan. Belum lagi Tukul yang hanya memiliki waktu sekitar empat jam dalam setiap pengambilan gambar," katanya. Ia mengatakan, film komedi romantis ini sangat kuat pada dialog dan pengarakteran tokoh, serta memiliki alur cerita yang terbagi dalam tiga plot besar yang biasa digunakan dalam film-film bergenre komedi romantis di Amerika Serikat/AS (50 First Date, Serendipity, dan Nothing Hill). "Film merupakan media komunikasi yang sangat efektif untuk menyampaikan sebuah pesan, karena itu pendekatan visual dari film ini lebih menitikberatkan pada pesan yang terkandung dalam cerita yang disampaikan secara terang/verbal, sehingga dapat tersampaikan secara utuh kepada penonton," katanya. Menyadari sempitnya waktu untuk merombak penampilan para pemain, agar lebih sesuai dengan karakter yang diperankan, Guntur melakukan pendekatan lain. "Saya sadar, 'Otomatis Romantis' sama sekali bukan `art movie` yang penuh simbol," katanya. Alur cerita film tersebut dibagi dalam tiga struktur besar, yakni plot dan memperkenalkan karakter (character introduction), konflik serta kesimpulan, yang diyakini Guntur dapat menampilkan alur cerita secara mengalir. "Ini cukup manjur untuk digunakan agar menjadi tontonan yang menghibur serta bisa dinikmati dengan santai tanpa harus banyak berpikir. Kekocakan pun terbangun dengan natural dari jalan cerita yang disuguhkan dan pendalaman akting, bukan dari guyonan maupun `slapstick` pemainnya," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008