“'Enteng-entengan' ya? Enam nyawa melayang, ratusan cedera, penjarahan pedagang kecil, rupiah melemah, sekian miliar untuk pengamanan?” komentar pendiri lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) itu.
Tak mengherankan bila diksi-diksi yang dilontarkan Amien Rais sampai sekarang merupakan pernyataan bernas yang bernilai secara akademis, namun bisa membawa petaka dalam kapasitasnya sebagai sosok yang terlibat dalam perseteruan politik.
Namun, ketika diperiksa oleh polisi dalam perkara dugaan makar Eggy Sudjana, kolega sealiran ideologis, Amien Rais membalikkan aspek semantik people power yang berpotensi melahirkan huru hara dengan menginjeksikan sifat main-main, yang ringan-ringan, sepele dan tak teramat genting dari istilah yang pas buat menggambarkan gerakan kekuatan warga negara dari segala lapisan sosial yang menumbangkan otokrat Ferdinand Marcos di Filipina dan Soeharto di Tanah Air itu.
Untuk standar demokrasi yang ideal, tragedi 22 Mei itu jelas perkara besar, tidak enteng-entengan sebagaimana dilontarkan Saiful yang murid indonesianis William Liddle dari Univeristas Ohio, AS itu.
Jika dirunut tentang rangkaian penyebab terjadinya benturan kekerasan di jalanan pada 22 Mei lalu, titik sentralnya adalah ketika elite politik tak sanggup bermain secara wajar dalam standar demokrasi yang lazim.
Pengobaran kisah atau narasi berprasangka suram dengan pengandaian atau kemungkinan kecurangan penyelenggara pemilu yang diinjeksikan oleh mereka yang terlibat dalam kontes perebutan kuasa lima tahunan itu ibarat mempersiapkan onggokan rumput kering untuk sewaktu-waktu menanti percikan api untuk kemudian membara menghanguskan.
Demokrasi yang berjalan secara efektif dan efisien dimungkinkan hanya dalam konteks terwujudnya kestabilan keamanan, sesedikit mungkin pelibatan aparat kepolisian apalagi kemiliteran dalam perkara politik.
Cara penyikapan elite politik dalam menerima hasil Pilpres 2019 boleh dibilang menjadi faktor pemicu munculnya kekerasan yang jelas-jelas telah mencoreng citra demokrasi di Tanah Air.
Isu yang berkembang yang mengikuti isu sentral Pilpres 2019 tak berfokus pada kesiapan kandidat yang kalah untuk mengucapkan selamat kepada sang pemenang, namun melebar ke perkara pidana seperti penyelundupan senjata, adanya penyandang dana di balik aksi kekerasan 22 Mei.
Teladan yang minim yang diperlihatkan para elite politik di seputar perhelatan demokrasi lima tahunan 2019 dalam menyikapi kekalahan dalam kontes politik perlu dijadikan refleksi semua pihak.
Barangkali terasa muskil untuk mengajak politisi berefleksi seperti itu. Namun jika elite politik itu bervisi jauh ke depan, yang tujuannya bukan sekadar berkuasa lima tahun mendatang, tapi menanamkan sikap-sikap positif bernegara kepada mereka yang akan melanjutkan berkiprah di mandala politik, tak ada yang tak mungkin.
Baca juga: Pengamat: Beda wacana "people power" dan upaya pembunuhan pejabat
Baca juga: Amien Rais perlu dipanggil terkait rencana pembunuhan pejabat negara
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2019