Jakarta (ANTARA News) - Pengacara mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar, M. Assegaf, mengatakan ahli waris Soeharto bisa menolak kewajiban hukum dalam kasus yang sedang menjeratnya jika penguasa Orde Baru itu meninggal dunia. Assegaf ketika ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, menjelaskan ahli waris dapat menolak untuk menanggung kewajiban hukum dalam kasus perdata jika ahli waris tidak menerima warisan. Untuk itu, ahli waris Soeharto bisa menolak melanjutkan kasus perdata jika mereka tidak menerima warisan. "Jangan menolak kewajibannya, tapi menerima haknya," kata Assegaf. Menurut dia, kasus perdata yang menimpa Soeharto bisa terus dilanjutkan setelah Soeharto meninggal apabila ahli waris bersedia. Selain itu, kasus perdata bisa dihentikan sementara untuk memberikan waktu bagi kejaksaan untuk memperbarui gugatan dan mengarahkan gugatan itu kepada ahli waris. Gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar diajukan terkait dugaan penyelewengan dana pada yayasan tersebut yang pernah diketuai Soeharto. Kejaksaan juga menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp10 triliun. Menurut Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munthe, yayasan tersebut pada awalnya bertujuan menyalurkan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak tahun 1978. Yayasan Supersemar menghimpun dana negara melalui bank-bank pemerintah dan masyarakat. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 373/KMK.011/1978, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, seharusnya uang yang diterima disalurkan untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, namun pada praktiknya tidak demikian dan telah terjadi penyelewengan. Penyelewengan dana itu, menurut JPN, merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUHPerdata. Sebelumnya pada 21 Agustus 2000 Kejaksaan Agung berupaya menyeret mantan Presiden Soeharto menjadi pesakitan dalam perkara pidana dugaan korupsi pada tujuh yayasan termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian keuangan negara melalui pengajuan gugatan perdata.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008