Jakarta (ANTARA News) - Kalangan komunitas telekomunikasi dan informatika di Indonesia dalam diskusi interaktif di DPP Partai Golkar, di Jakarta, Rabu petang, menyatakan kecewa karena Menkominfo secara sepihak menunda pemberlakuan Undang-Undang Penyiaran. "Kan seharusnya Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini sudah berlaku secara yuridis formal pada tanggal 28 Desember 2007 lalu. Apa haknya seorang menteri membatalkannya," kata salah seorang peserta, yakni Ishak M Yusuf, praktisi hukum, konsultan serta pemerhati telekomunikasi dan informatika. Ishak M Yusuf yang juga Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perhubungan Telekomunikasi dan Informatika (Hubtelkominfo) DPP Partai Golkar, menilai, dengan dalih ketidaksiapan penyelenggaraan oleh para operator (televisi), Menkominfo menunda pelaksanaan UU Nomor 32 itu, padahal seharusnya sudah harus diberlakukan sesuai amanat konstitusi. "Dilihat secara `teknik pembuatan suatu undang-undang`, maka penundaan ini sebenarnya berarti UU itu `batal demi hukum`. Tetapi di sisi lain, seorang menteri tidak memiliki `legal capacity` untuk menunda, dan mengamandemen suatu UU," katanya dalam acara yang digelar oleh Korbid Hubtelkominfo DPP Partai Golkar tersebut. Keadaan ini, menurut Ishak Yusuf, benar-benar suatu preseden negatif atas pelaksaanaan hukum tata negara di Indonesia. "Sebab, UU merupakan produk (bersama) eksekutif (Presiden RI) dan legislatif (DPR RI). Makanya, yang berwenang untuk menunda maupun mengamandemen suatu UU, termasuk UU Penyiaran ini, haruslah DPR RI dan Presiden RI, bukan menteri terkait," katanya lagi pada kegiatan yang juga dihadiri salah satu Ketua DPP Partai Golgar/Korbid Hubtelkominfo, Theo L Sambuaga ini. Karena itu, Ishak Yusuf dan jajarannya di Pokja Hubtelkominfo DPP Partai Golkar meminta Menkominfo perlu segera melakukan klarifikasi mengenai langkah penundaan pemberlakuan UU Penyiaran tersebut. "Tindakan Menteri ini perlu pelurusan, agar seorang menteri bisa lebih pantas melakukan segala langkah hukum tata negara berdasarkan prosedur tatakrama bernegara yang beradab, sebagaimana pula berlaku di Indonesia, yakni berdasarkan prosedur perundang-undangan yang sah berlaku di republik ini," ujar Ishak Yusuf. Seorang rekannya dari komunitas telekomunikasi dan informatika, Willy H Rawung, juga berpendapat senada dengan menambahkan, dari sudut pandang perilaku Menkominfo, jelas ini salah kaprah. "Sebab, Menteri tidak berwewenang untung mengubah atau mengurangi undang-undang. Tetapi, di pihak lain, penundaan ini memberi peluang bagi televisi-televisi lokal untuk berkembang atau melakukan konsolidasi lebih baik," katanya. Willy Rawung juga berharap, dengan penundaan pemberlakuan ini, ada manfaat bagi lahirnya TV Nasional yang menjadi tangguh. "Karena adanya eksistensi televisi lokal yang bisa menjadi mitra televisi di ibukota negara secara sinergis, saling memperkuat, terutama mulai pada tahun 2009 nanti," kata Willy Rawung yang juga berharap, Menkominfo segera menjelaskan seputar penundaan pemberlakuan UU Penyiaran di atas. Sebelumnya, Theo L Sambuaga yang juga Ketua Komisi I DPR RI, menegaskan, pihaknya meminta Menteri Komunikasi dan Informatika segera menjelaskan duduk persoalan seputar penundaan pemberlakuan Undang Undang Penyiaran kepada publik. "Ini penting, untuk menghindari polemik berkepanjangan, karena Undang Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 itu sesuai dengan ketentuan Mahkamah Agung mesti segera berlaku mulai 28 Desember 2007 lalu. Dan seorang menteri memang tak berhak melakukan hal semacam itu," katanya. Ada kesan, lanjut Theo Sambuaga, pihak eksekutif memanfaatkan susana liburan akhir tahun dan situasi negara yang sedang sibuk menghadapi berbagai bencana untuk melakukan penundaan, tanpa terlebih dulu berkonsultasi dengan DPR RI. "Ingat, Menteri tidak punya kewenangan seperti itu," kata Theo Sambuaga.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008