Kuala Lumpur (ANTARA News) - Pemerintah Malaysia diminta serius memberlakukan "Mandatory Consuler Notification" (MCN) terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia guna menghindari kasus kekerasan terhadap pekerja. "Pemberlakuan MCN diharapkan dapat menekan angka kasus kekerasan, sekaligus dapat dengan cepat memberi perlindungan hukum bagi TKI bermasalah," kata Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, di Kuala Lumpur, Kamis malam. Jumhur memberi pendapat tersebut terkait Pertemuan Konsultasi Tahunan Indonesia-Malaysia di antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, yang dijadwalkan dilangsungkan pada Jumat (11/1) di Putra Jaya, antara lain membahas masalah ketenagakerjaan. Sebelumnya, Jumhur mendampingi Presiden Yudhoyono dan Menlu Hassan Wirajuda, Menteri Tenaga Kerja Erman Suparno, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, dan Kuasa Usaha Ad-Interim Tatang B Razak bertemu dengan Nirmala Bonat, TKI yang mengalami kekerasan oleh majikannya di Malaysia. Dengan MCN ini kata Jumhur, pihak aparat Malaysia secepatnya memberi informasi kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal (Konjen) RI, jika ada TKI yang ditangkap atau terkena hukuman. "Dengan laporan itu kita bisa memberi perlindungan hukum, dan penyelesaian kasus-kasus kalau-kalau ada orang atau WNI yang menghadapi masalah," katanya. Menurut Jumhur, dalam pembicaraannya secara informal dengan sejumlah pejabat Malaysia cukup berkembang untuk mempercepat pembentukan MCN yang diharapkan diberlakukan pada 2008 ini. Ia menjelaskan pula, dengan MCN dibentuk semacam lembaga pengawasan yang bertugas memonitoring, menelepon dan mengunjungi tempat-tempat tenaga kerja dari yang selama ini hanya bersifat sebagai "call center" pasif atau tidak menindaklanjuti berbagai laporan yang masuk. Menurut data KBRI, katanya, jumlah tenaga kerja yang tersangkut perkara di Malaysia mencapai 1,1 juta orang, dan perkara yang tidak terdaftar menyangkut 800.000 orang. Angka ini perkiraan karena sebagian orang mengatakan bahwa angka perkara TKI jauh lebih besar lagi seperti kasus gaji tidak dibayar, PHK sepihak, atau TKI yang melarikan diri. "Kasus gaji tidak dibayar, PHK sepihak atau TKI kabur angkanya besar," ujarnya. Namun, kasus kekerasan atau penyiksaan katanya, mencapai 30-40 kasus, dan itu pun baru penyiksaan dan kekerasan tahap awal atau ada indikasi kekerasan. "Kasus yang sudah pada tahap kekerasan tingkat tinggi seperti yang dialami Nirmala Bonat sangat sedikit," ujarnya. Terkait pertemuan Presiden Yudhoyono dan PM Abdullah Badawi, yang berkomitmen menuntaskan masalah ketenagakerjaan, Jumhur menjelaskan bahwa soal TKI filosofinya adalah bahwa kedua negara (Indonesia-Malaysia), kedua bangsa dan kedua pemerintahan tersebut saling membutuhkan. Indonesia harus melatih dan meningkatkan kualitas tenaga kerja, sedangkan Malaysia meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja. Berdasarkan evaluasi BNP2TKI, katanya menambah, hampir 42 persen dari Balai Latihan Tenaga Kerja Luar Negeri yang dikelola swasta tidak layak operasi sehingga kualitasnya tidak bisa dipertanggujawabkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008