Jakarta (ANTARA News) - Lembaga riset ekonomi Econit Advisory Group memperkirakan, kebijakan moneter selama semester I akan cenderung ketat sehingga tipis kemungkinan adanya penurunan suku bunga selama kurun waktu itu. "Selama paruh pertama 2008 kebijakan moneter akan cenderung ketat, baru pada paruh kedua terdapat peluang penurunan suku bunga," kata ekonom Econit Rasyad Parinduri ketika menyampaikan perkiraan ekonomi Indonesia 2008 Econit, di Jakarta, Rabu. Menurut Rasyad, otoritas moneter yaitu Bank Indonesia (BI) akan cenderung menggunakan target inflasi pada batas atas sebesar 6,0 persen. Econit sendiri memperkirakan tingkat inflasi selama 2008 akan mencapai sekitar 6,5 persen. "Karena itu selama paruh pertama 2008 kemungkinan suku bunga acuan BI Rate akan tetap bertahan pada angka 8,0 persen, pada paruh kedua 2008 baru terdapat peluang turun beberapa puluh basis poin," katanya. Menurut Econit, kenaikan harga makanan dan energi pada tahun 2008 akan membawa pengaruh cukup besar terhadap ekonomi dunia. Secara umum, core inflation di banyak negara di dunia relatif stabil, tetapi inflasi makanan dan energi akan menjadi masalah besar dan berdampak luas pada 2008, termasuk Indonesia. Harga minyak mentah di pasar spot beberapa kali mencapai sekitar 90 dolar AS per barel, lebih tinggi dari rata-rata tahun 2007 yang mencapai 72 dolar AS per barel. Menjelang akhir tahun 2007, harga makanan terutama padi-padian dan sereal juga mengalami kenaikan yang tinggi, sementara cadangan makanan dunia merosot ke tingkat yang paling rendah selama 25 tahun terakhir. Menurut catatan Econit, harga beras sudah meningkat 6-10 persen, terigu sekitar 50 persen, dan kedelai naik sampai 100 persen pada beberapa waktu terakhir. Kenaikan harga padi-padian dan makanan itu akan berlanjut sepanjang tahun 2008. Kondisi semakin buruk sebagai dampak dari banjir sejak Desember 2007 di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan kemungkinan gejala el nino pada pertengahan 2008. "Inflasi makanan terutama kebutuhan pokok akan menjadi masalah serius pada 2008 dan akan menjadi pemicu kemerosotan daya beli mayoritas rakyat Indonesia," kata Rasyad. Menurut Econit, kenaikan inflasi barang kebutuhan pokok (terutama makanan) tidak akan tercermin sepenuhnya dalma angka-angka inflasi yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Perhitungan inflasi yang didasarkan pada survei biaya hidup lebih urban dan middle class bias, lebih tidak akurat dibandingkan dengan data Susenas, sehingga bobot kebutuhan pokok dalam perhitungan inflasi hanya 6 persen. Dari hasil Susenas 2002, bobot beras dalam pengeluaran rumah tangga cukup besar yaitu rata-rata sekitar 12 persen (bobot beras untuk kelompok miskin sekitar 24 persen, kelompok mendekati miskin 19 persen dan rata-ratanya 12 persen). Bila perhitungan dilakukan tidak hanya untuk beras, tetapi untuk 9 bahan pokok maka bobotnya secara nasional mencapai sekitar 30 persen. Menurut Econit, perbedaan bobot perhitungan inflasi untuk barang kebutuhan pokok itu merupakan salah satu penyebab mengapa muncul perbedaan yang sangat besar antara statisitik inflasi dengan fakta yang dirasakan rakyat. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008