Oleh Abdul Azis Karim Makassar (ANTARA News) - Suasana tegang masih menyelimuti kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), menyusul belum adanya kepastian pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur (Wagub) hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 5 November 2007. Padahal, masa jabatan HM Amin Syam/Syahrul Yasin Limpo sebagai Gubernur/Wagub Sulsesl periode 2003-2008 berakhir Sabtu (19/1). Kesimpangsiuran itu menyebabkan gelombang unjuk rasa massa pendukung Syahrul Yasin Limpo/Agus Arifin Nu`mang (Sayang) sejak awal pekan ini terus marak, dan membuat suasana kehidupan masyarakat di ibukota Sulsel itu terlihat tegang. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Mardiyanto, akan melantik pemangku jabatan (caretaker) Gubernur Sulsel di Jakarta. Ada dua nama yang disebut-sebut calon pemangku jabatan Gubernur Sulsel, yakni Staf Ahli Mendagri, Mayjen TNI Syamsul Mappareppa, dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otoda) Depdagri, Sodjuangon Situmorang. Meski ribuan personel polisi dan TNI telah menduduki titil-titik rawan di Makassar, seperti Kantor Gubernur, DPRD Sulsel, rumah jabatan gubernur dan Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sulsel, aksi demo yang menuntuk pelantikan "Sayang" dan menolak pemangku jabatan Gubernur Sulsel masih berlanjut. Pada Jumat (18/1), ribuan orang menggelar aksi di tiga tempat berbeda yakni di daerah perbatasan Makassar-Maros, perbatasan Makassar-Gowa dan di lapangan Karebosi, depan Gedung Bank Indonesia. Mereka menutup jalan untuk dijadikan arena orasi. Mereka juga menggelar salat Jumat di Jalan Gatot Soebroto, di depan Bank Indonesia (BI) Makassar. Mereka juga sempat menduduki kantor bank itu namun tanpa tindakan anarkis. Mereka kemudian berkonvoi keliling kota Makassar, menyebabkan toko-toko milik warga keturunan China di Jl. Somba Opu dan kawasan Pecinan tutup. Kalaupun ada yang buka, pintunya hanya separuh. Kisruh politik pascapilkada itu muncul ketika pasangan HM Amin Syam/mansyur Ramli (Asmara) yang dicalonkan Partai Golkar menggugat keputusan KPUD Sulsel yang menetapkan "Sayang" sebagai pemenang Pilkada. Asmara membawa perkara itu ke Mahkamah Agung. Dalam rapat pleno 16 November 2007, KPUD menetapkan "Sayang" sebagai pemenang dengan meraih 39,53 persen suara pemilih , "Asmara" meraih 38,76 persen dan Abdul Azis Qahhar Mudzakkar/Mubyl Handaling 21,71 persen. Dengan bantuan pengacara kondang Ersa Syarif, kubu Asmara menilai ada kecurangan oknum KPUD dalam penghitungan suara sehingga mereka menggugat keputusan itu ke Mahkamah Agung. Majelis Hakim Agung pada sidangnya 19 Desember 2007 kemudian memutuskan menerima sebagian gugatan Asmara dan memerintahkan KPUD Sulsel menggelar Pilkada ulang di Kabupaten Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja. Keputusan MA itulah yang memicu munculnya aksi-aksi unjukrasa karena pendukung Sayang menilai bahwa MA tidak berwenang memerintahkan Pilkada ulang. Dalam keputusannya, MA juga tidak membatalkan keputusan KPUD yang memenangkan Sayang, sehingga bagi pendukung, tidak ada alasan untuk tidak melantik pasangan Sayang. KPUD setempat juga perlawanan terhadap putusan itu dengan mengajukan memori Peninjauan Kembali melalui Pengadilan Tinggi Sulselbar pada Rabu (16/1) dan kini prodes hukumnya masih bergulir ke MA. Aksi demo memuncak pada Rabu (16/1) ketika ribuan pengunjukrasa menduduki kantor gubernur, DPRD dan rumah jabatan gubernur Sulsel. Massa memecahkan kaca jendela kantor gubernur dan memaksa Sekrataris daerahnya, HA. Muallim, menandatangani pernyataan sikap menolak Pilkada ulang, menolak carataker, dan meminta Mendagri segera melantik Sayang. Aksi penolakan itu tidak hanya terjadi di Makassar, juga di beberapa ibukota kabupaten seperti Sungguminasa dan Toraja. Di Gedung DPRD Sulsel kini terpasang spanduk besar bertuliskan: "Kami siap berdarah-darah kalau Sayang tidak dilantik 19 Januari." Syahrul Yasin Limpo mengatakan, seyogianya Sayang dilantik, dan proses hukum di MA terus berjalan. Hal seperti itu pernah terjadi di Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Banten dan Lampung. "Mengapa di Sulsel tidak bisa?" ujarnya. "Kalau nantinya MA dalam putusan akhirnya menyatakan bahwa Sayang tidak sah memimpin Sulsel, saya siap turun," ujarnya. Namun, sampai Jumat siang belum ada kepastian, Sayang atau caretaker yang akan dilantik untuk memegang tampuk kepemimpinan Sulsel mulai 19 Januari 2008. Sementara aksi demo makin gencar. Berbagai pihak di Sulsel menyatakan rasa prihatin mengenai perseteruan antara HM Amin Syam dengan Syahrul Yasin Limpo yang selama lima tahun terakhir memimpin provinsi berpenduduk 7,4 juta jiwa itu. "Jangan ada demo yang menjurus anarkis. Kasihan rakyat karena mereka jugalah yang akan menjadi korban bahkan menderita," kata mantan Gubernur Sulsel HA. Oddang. Aksi demo yang anarkis, katanya, akan berdampak buruk pada perekonomian, keamanan dan stabilitas bangsa, khususnya daerah tersebut. Sedangkan, Prof Dr HA Amiruddin, mantan Gubernur Sulsel dua periode mengatakan bahwa kondisi Sulsel sekarang ini sudah sangat menyedihkan dengan makin maraknya demo pro kontra putusan MA. "Dengan kondisi yang mencekam sekarang ini, apalagi yang perlu dibanggakan di Sulsel. Ini sudah sangat menyedihkan," ungkapnya seraya menambahkan, kisruh Pilkada Sulsel sangat rumit persoalannya. Menurut Amiruddin, yang juga mantan Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar dua periode itu, dua kandidat gubernur yang berseteru sejak proses Pilkada dimulai itu hanya mementingkan kepentingan sendiri. Padahal, sebelum proses Pilkada dimulai, keduanya sudah diwanti-wanti supaya menghindari perseteruan dan siap menang-siap kalah, sebab jika hal itu terjadi, reputasi Sulsel yang dulu disengani provinsi lain di Indonesia akan rusak. Kapolda Sulselbar, Irjen Pol. Aryanto Boedihardjo mengingatkan seluruh masyarakat, untuk mengendalikan diri dan tidak berbuat onar. "Kami akan bertindak tegas terhadap mereka yang berbuat anarkis," katanya dan meminta semua pihak menanti dengan sabar proses hukum yang sedang berjalan di Mahkamah Agung. (MA). (*)

Oleh priya
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008