Surabaya (ANTARA News) - Tim Pembela Muslim (TPM) selaku kuasa hukum terpidana mati kasus bom Bali 12 Oktober 2002, Amrozi dkk, memastikan akan mengajukan PK (Peninjauan Kembali) lagi. "Yang jelas, kami pasti mengajukan PK lagi, tapi jangan tanya kapan dan di mana, karena nanti kami yang repot," kata pengacara TPM, Fahmi H Bachmid SH MHum, kepada ANTARA di Surabaya, Rabu. Ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi tentang rencana eksekusi Amrozi, Ali Ghufron alias Mukhlas, dan Imam Samudera setelah Mahkamah Agung (MA) menolak PK dari ketiga terpidana. Menurut dia, pihaknya akan tetap mengupayakan PK, karena sidang PK yang pernah diajukan justru tidak pernah terjadi, tapi tiba-tiba ada penolakan. "Ada apa kok dipaksakan, apa ada pesanan?," katanya. Bahkan, katanya, bila Amrozi dkk harus dieksekusi pun seharusnya masih banyak terpidana mati lainnya yang perlu diprioritaskan daripada Amrozi dkk, karena mereka justru yang lebih awal antre eksekusi dibandingkan dengan Amrozi dkk, misalnya terpidana mati narkoba. Oleh karena itu, katanya, sikap pemerintah yang bersemangat melakukan eksekusi terhadap Amrozi dkk patut dipertanyakan sebagai langkah diskriminasi dalam eksekusi hukuman mati. "Karena itu, saya bingung atas sikap MA yang seakan-akan memaksakan PK dan grasi kepada Amrozi dkk, tapi kepada terpidana mati lainnya dibiarkan. Kalau mau adil dan setara itu seharusnya terpidana mati dalam kasus narkoba lebih harus didahulukan," katanya. Selain itu, katanya, TPM juga akan melapor kepada Komisi Yudisial (KY) karena putusan PK yang diajukan sebelumnya dilakukan tanpa sidang PK, kemudian grasi juga dipaksakan kepada terpidana. Sebelumnya (4/1), keluarga terpidana mati kasus bom Bali 12 Oktober 2002, Amrozi dan Ali Ghufron, di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, telah menolak untuk menerima salinan surat penolakan MA atas PK kepada mereka. Ketiga terpidana mati, yakni Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron, dan Imam Samudera, kini masih mendekam di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, untuk menunggu pelaksanaan eksekusi. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008