Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Sensor Film (LSF) bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jika ternyata film yang telah dinyatakan lulus sensor terbukti melanggar ketentuan pidana, kata pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Mudzakir. "LSF tanggung jawab di sini, karena dia punya izin atau kewenangan untuk mengizinkan atau menolak (film)," kata Mudzakir ketika ditemui setelah memberikan keterangan sebagai ahli dalam uji materi UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis. Mudzakir menyatakan, bisa saja sebuah film dinyatakan melanggar hukum meski sudah dinyatakan lulus sensor. Dalam kondisi seperti itu, katanya, LSF adalah pihak yang paling tepat untuk dimintai pertanggungjawaban. Sedangkan insan pembuat film bisa dibebaskan dari tanggung jawab pidana. "Kalau sudah lolos sensor itu bebas dari pertanggungjawaban pidana, karena menurut UU harus lolos sensor," kata Mudzakir. Oleh karena itu, menurut dia, keberadaan LSF pada dasarnya melindungi insan film dari tanggung jawab pidana. Sementara itu, pakar hukum Nono Anwar Makarim berpendapat lain. LSF, menurut dia, berpotensi menjadi lembaga yang sangat berkuasa dalam perfilman. Nono berpijak pada pengertian sensor dalam UU Perfilman, yaitu penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu. Menurut Nono, ada empat kata kunci dalam pengertian sensor yang bisa membuat LSF menjadi sangat kuat, yaitu meneliti, menilai, menentukan, meniadakan. Nono mengistilahkan hal itu sebagai pengadilan dengan satu pihak sebagai pengambil keputusan tunggal. "Saya tidak setuju bahwa ini yang menentukan LSF," kata pakar yang juga memberikan keterangan dalam uji materi itu.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008