Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memprediksikan kajian pelanggaran HAM yang terjadi pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto, akan selesai awal Maret. "Meskipun (Soeharto) sudah meninggal, bukan berarti kasusnya ditutup. Kami tetap melanjutkan kajian pelanggaran HAM tersebut dan diharapkan selesai awal Maret nanti," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim di Jakarta, Selasa. Meskipun kasus pidana Soeharto telah ditutup lama karena alasan kesehatan, Ifdhal menyebut bahwa kasus pelanggaran HAM tetap harus diusut dan diproses karena pembunuhan terhadap rakyat tak berdosa adalah tetap sebuah kejahatan. "Harus tetap diusut agar publik tahu membunuh itu ilegal," katanya. Meskipun Soeharto sebagai penanggungjawab politik kasus-kasus tersebut telah meninggal, namun Ifdhal menyebut masih banyak koordinator lapangan maupun pelaksana lapangan yang bertanggungjawab. "Pertanggungjawabannya berbasis pada kasus perkasus, dimana tiap kasus ada penanggungjawab lapangan. Orang-orang ini masih bisa diusut untuk pertanggungjawaban pidananya," papar Ifdhal. Komnas HAM melakukan kajian ulang dari laporan komisioner periode sebelumnya dan memfokuskan pada lima kasus besar yang belum terungkap yakni kasus Pulau Buru, Kasus Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1981-1985, Kasus 27 Juli, Kasus Tanjung Priok dan kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua. Setelah melakukan kajian, Ifdhal menyebut Komnas HAM akan melakukan penyidikan pro justicia dengan melakukan pemanggilan terhadap para saksi termasuk dari perwira TNI. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menyatakan pihaknya siap bekerjasama dengan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh Komnas HAM yang bertemu Panglima TNI akhir pekan lalu yang berharap agar perjanjian itu akan semakin mempermudah penyidikan. "Perjanjian dengan TNI ini bagus sekali agar kejadian masa lalu yaitu saksi perwira TNI menolak hadir, tidak terjadi lagi," ujar Ifdhal.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008