Tokyo (ANTARA News) - Masih enggannya pebisnis dari Negeri Sakura untuk melakukan investasi di Indonesia menurut pandangan akademisi dari Wako University, Jepang, adalah karena investor Jepang masih menilai resiko bisnis di Indonesia masih tinggi, sehingga akan melirik negara yang memiliki iklim investasi yang lebih baik. Demikian kesimpulan yang diungkapkan Profesor Tetsuro Ueono dan Profesor Iwayuki Suzuki, dua pengajar senior dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Manajemen Wako University kepada Antara di Tokyo, Jumat. Keduanya ditemui usai mengadakan dialog dengan para analis dari Bank Indonesia (BI) perwakilan Tokyo, dan pimpinan Bank Negara Indonesia (BNI) perwakilan Tokyo. BI dan BNI Tokyo di awal tahun 2008 ini menggelar serangkaian dialog dengan berbagai pihak guna mencari masukan terbaru tentang minat bisnis Jepang. Dalam pandangan Profesor Iwayuki Suzuki, situasi politik dan ekonomi Indonesia berjalan cukup baik saat ini, namun belum cukup kuat untuk menunjang iklim investasi yang menarik. "Pebisnis Jepang masih menganggap resiko investasinya masih tinggi. Masalah-masalah politik dan ekonomi juga belum stabil. Begitu juga dampak-dampak dari pergantian pemerintahan, masih menjadi pertimbangan serius Jepang. Terutama sejak terjadinya reformasi," ujar Suzuki lagi. Ia kemudian mengutarakan sejumlah persoalan "klasik" yang menghambat investasi seperti perburuhan dan kepastian hukum di Indonesia. Sementara itu, Profesor Tetsuro Ueno mencoba lebih "netral" dengan mengemukakan sejumlah kesamaan dalam cara berpikir antara orang Jepang dan Indonesia, sehingga jika lebih sering dilakukan pertukaran pendapat dan dialog yang intensif dalam berbagai level kegiatan maka akan lebih mudah mengembalikan investasi Jepang ke Indonesia. "Jika banyak orang Jepang yang tahu pola berpikir Indonesia, maka tidak perlu melirik ke negara lain untuk berbisnis. Jadi perlu lebih banyak lagi penjelasan," kata Ueno. Lebih jauh keduanya juga berpendapat bahwa penjelasan yang dilakukan bisa saja dalam bentuk promosi investasi, namun harus lebih serius dan dilakukan secara kontinyu. Begitu juga dengan bentuk promosinya bisa dilakukan dengan lebih inovatif. Salah satunya, menurut Suzuki, adalah dengan melakukan "public relations" yang tertata dengan baik, karena begitu banyak informasi dan berita yang buruk yang sampai ke Jepang. "Begitu banyak berita buruknya, namun tidak terlihat upaya-upaya yang baik dalam membantah atau meredamnya," ujar Suzuki lagi. Ia kemudian ikut memberi saran, bagaimana melakukan public relations yang lebih mengena dan bisa diterima rakyat Jepang, yakni dengan mengangkat citra orang keturunan Jepang di Indonesia yang sukses dalam berbisnis. "Keberadan orang seperti itu bisa menjadi simbol bagi kedua belah pihak untuk bercerita lebih jujur. Namun jangan lupa hal itu juga harus dilakukan lebih sering," ujarnya lagi.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008