Brisbane (ANTARA News) - "Lesehan Sastra Dua Muka" yang melibatkan sastrawan dan seniman Indonesia dan Australia berlangsung di aula Toad Hall (asrama mahasiswa) Universitas Nasional Australia (ANU) Canberra, Minggu, dan turut dihadiri Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb. Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) ANU, Ulil Amri, mengatakan, pertunjukan seni sastra dan pertunjukan yang melibatkan sastrawan muda asal Semarang, Triyanto Triwikromo, dan penulis wanita Australia, Jan Cornall, itu menawarkan pesan baik bagi banyak mahasiswa Indonesia dan mancanegara yang hadir. Pesan baik yang terkandung dalam karya Triyanto berjudul "Tiga Surat (Bukan) Cinta untuk Jan Cornall tentang Fundamentalisme, Liberalisme, dan Silent Majority" yang ia bacakan dalam pagelaran itu adalah nilai moderat yang justru merupakan nilai yang cocok atau pas bagi pergaulan antarbangsa, katanya. Di antara puluhan mahasiswa yang hadir dalam acara lesehan sastra itu, beberapa di antaranya adalah mahasiswa Australia dan Perancis, kata Ulil. Sementara itu, Triyanto mengatakan, ia membaca suratnya itu sembari menembang sedangkan Ian Cornall meresponnya dengan surat dan nyanyian bernuansa Barat dengan iringan musik Deva Permana bersama dua rekannya. "Sekitar 50-an orang mahasiswa hadir dan mereka meresponnya dengan sangat baik. Yang tak kalah menariknya adalah Pak Dubes Thayeb ikut terlibat dalam diskusi tentang isi surat saya itu," katanya. Dalam suratnya bertajuk "fundamentalisme" misalnya, Triyanto mengatakan bahwa kaum fundamentalis di Indonesia bukanlah orang-orang yang mengasingkan diri dari masyarakat umum. "Tidak! Tidak! Mereka justru hidup bersama kaum skeptis dan berusaha mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Mereka hidup bersama para pendosa dan berusaha mensucikan kehidupan. Jadi, kau jangan heran jika Azahari, Imam Samudra, atau Dulmatin bisa hidup dan dibentengi oleh orang-orang yang `hendak mereka selamatkan` dari pencemaran dunia." "Para fundamentalis di negeriku, kau tahu, memang melawan modernitas dan sekularisme, tetapi ia hadir dengan ilmu-ilmu modern. Peradaban Barat "kalau kau juga menganggap bom sebagai produk Barat"mereka gunakan untuk melawan sesuatu yang dianggap telah dikangkangi oleh Barat," katanya dalam suratnya itu. "Dengan menulis surat semacam ini, aku tidak sedang ingin menakut-nakutimu. Aku justru ingin mengajakmu memandang fundamentalisme dari kacamata lain. Aku ingin kau pelajari rasa sakit mereka, perlawanan kebudayaan mereka, dan keinginan-keinginan suci mereka. Sebab dengan mempelajari sesuatu yang mungkin kaumusuhi, kau akan mengerti cara terbaik untuk menaklukkannya." "Jadi, ayolah, Jan... Aku undang lagi kau datang ke negeriku. Kenalilah lebih dalam orang-orang yang kausangka hanya bisa mengebom Bali. Kenalilah mereka yang juga tak kumengerti bisa hidup pada masa ketika segalanya harus disekularisasikan," Pagelaran Triyanto di depan komunitas mahasiswa Indonesia di ANU hari Minggu itu merupakan kegiatan kreatifnya yang ketiga selama berada di Australia setelah penampilannya di Festival Gang dan Wisma Indonesia Sydney bersama grup "Kuno Kini". (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008