Jakarta (ANTARA News) - Komisi I DPR RI mempersoalkan penandatanganan piagam ASEAN Charter pada Desember 2007 lalu oleh pemerintah RI yang dilakukan tanpa meminta persetujuan DPR. "Seharusnya karena konsekuensinya serius, sejak awal Presiden Yudhoyono harus melibatkan DPR, minimal melibatkan Komisi I," kata anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf di Jakarta, Senin. Menurut dia, kejadian itu bisa mengulangi penolakan DPR terhadap perjanjian bilateral mengenai pertahanan (DCA) antara Pemerintah Indonesia dan Singapura. "Ke depan hal-hal seperti itu tidak sepatutnya terulang karena akan menimbulkan keraguan dan ketidakpastian bagi negara-negara luar yang menandatangani perjanjian dengan pemerintah RI, baik dalam skala bilateral atau multilateral," katanya. Muzzammil mengatakan, ASEAN Charter di satu sisi merupakan kemajuan adanya ikatan hukum antarsesama anggotanya, tetapi pada saat yang sama ia memunculkan persoalan ketatanegaraan di Indonesia. "Karena pada pasal 5 ASEAN Charter dinyatakan bahwa negara-negara yang setujui Charter tersebut perlu menyesuaikan berbagai Perundang-undangan negara yang bersangkutan dengan Charter tersebut," katanya. Sementara Charter tersebut, katanya, ditandatangani pemerintah tanpa sebelumnya meminta persetujuan DPR, sebagaimana perintah dalam UUD 1945 pasal 11 ayat 1 dan 2 hasil amandemen ke-3 dan ke- 4 tahun 2001 dan 2002. Terkait ASEAN Charter itu sendiri, menurut Muzzammil, dari perspektif ekonomi atau dampak diterapkannya "pasar tunggal" ASEAN pada 2015 masih bisa diperdebatkan positif negatifnya untuk Indonesia. "Sedangkan dari sudut penyelesain konflik internal ASEAN mungkin akan lebih baik," katanya. Sementara dari sudut isu HAM, lanjutnya, dikhawatirkan ASEAN Charter tidak akan bisa berbuat banyak, terutama terkait misi untuk memperbaiki kondisi di Myanmar. (*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008