Jakarta (ANTARA News) - Senator Arizona di Amerika Serikat (AS), John McCain, boleh jadi melenggang secara mudah di antara dua kandidat Presiden AS 2009-2013 lainnya dari Partai Republik, yakni mantan Gubernur Massachusetts, Mitt Romney, dan mantan Gubernur Arkansas, Mike Hukabee. Bahkan, setelah "Super Tuesday" (Selasa Akbar), veteran perang Vietnam itu hanya makin memperkokoh posisinya dengan mengantongi 3 juta suara (40 persen), diikuti dengan Romney dengan 2,3 juta (31 persen) dan Hukabee dengan 1,6 juta suara (31 persen). Jika persaingan di kubu Republik terkesan "adem ayem", maka berbeda dengan kubu Partai Demokrat. Pengunduran diri mantan senator asal North Carolina, John Edwards, justru seakan menjadikan persaingan antara dua kandidat yang tersisa, Hillary Rodham Clinton --senator asal New York-- dan Barack Obama --senator asal Illinois-- semakin ketat. Pasca-"Super Tuesday", kekuatan kedua kandidat tersebut masih terbilang imbang. Sekalipun, Obama berjaya di 13 negara bagian, namun Hillary, yang juga mantan ibu negara AS, mendapatkan perolehan delegasi yang lebih besar. Tanpa mengesampingkan McCain, perjuangan Obama dan Hillary untuk menjadi orang nomor satu di negara adidaya, AS, tampaknya menyita perhatian banyak pihak, termasuk publik Indonesia. Ketika Duta Besar (Dubes) AS untuk Indonesia, Cameron Hume, menggelar "open house" di rumahnya guna mengajak para mahasiswa, pengamat dan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyaksikan secara langsung penghitungan suara di "Super Tuesday" pada Rabu (6/2) terlihat antusiasme para tamu undangan pun tersedot habis untuk calon-calon dari kubu Demokrat. Dalam sebuah pemilihan umum pura-pura (simulasi) di Kedutaan Besar AS di Jakarta itu, Obama yang pernah tinggal di Indonesia ketika kanak-kanak menang telak atas seluruh kandidat yang lain. Dari sekitar 300-an kartu suara, Obama mengantongi suara mayoritas dengan 221 suara, Hillary menyusul di tempat kedua dengan 95 suara, McCain dengan 15 suara, Mitt Romney enam suara dan Mike Huckabee dua suara. Tingginya suara yang diperoleh Obama, terutama lantaran para tamu undangan asal Indonesia yang terdiri dari anak-anak mahasiswa, aktivis LSM dan kalangan media massa lebih mengenal calon-calon dari Partai Demokrat daripada Republik. "Tidak pernah mendengar tentang kandidat yang lain, kalo Obama kan pernah tinggal di Indonesia, lalu Hillary mantan ibu negara," kata Ninin, mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Paramadina yang bersama 50 orang temannya mengikuti acara simulasi itu. Sementara itu Aretha --rekan Ninin-- mengaku memberikan suara untuk Obama, mengemukakan bahwa alasannya memilih calon presiden berkulit hitam pertama AS itu karena popularitasnya. "Obama dan Hillary lebih populer, tapi saya pilih Obama, karena dia pernah tinggal di Indonesia," ujarnya. Sedangkan, Cindy --juga mahasisa Universitas Paramadina-- mengaku, memilih Hillary karena sama-sama perempuan. Baik Aretha, Cindy ataupun Ninin mengaku tidak mengetahui program atau pun visi dan misi dari Obama maupun Hillary. Mereka juga tidak mengetahui sejauh mana keuntungan yang akan diperoleh Indonesia dalam hubungan dwi-pihak, jika salah seorang dari kandidat favorit mereka itu terpilih. "Tidak tahu, hanya sering baca di media tentang mereka saja," sahut Aretha. Suara Aretha, Cindy dan Ninin, agaknya tidak akan berpengaruh apa pun dalam penentuan Presiden AS yang bakal berlangsung pada November 2008. Namun, sedikit banyak alasan-alasan mereka mencerminkan kekuatan dasar Hillary dan Obama dalam menjaring suara. Hillary Clinton dan Barack Obama sama-sama memiliki peluang kuat untuk mengukir sejarah AS, yaitu menjadi perempuan presiden pertama bila Hillary yang menang, atau presiden berkulit hitam pertama bagi AS bila saja Obama lebih unggul. Berdasarkan satu jajak pendapat di tempat pemungutan suara, kemenangan Hillary pada "Super Tuesday" banyak ditentukan karena dukungan di kelompok perempuan dan warga kulit putih, sementara Obama berhasil mendapatkan dukungan besar dari para warga kulit hitam. Perubahan, hal itu pula yang sama-sama diusung oleh kedua kandidat dari Partai Demokrat itu. Salah seorang warga AS yang ditemui di "open house" Dubes Hume, Will Tuchrello dari US Library of Congress mengatakan bahwa presiden mendatang di AS adalah orang yang harus benar-benar mendengarkan suara rakyat. Mengenai kesiapan warga AS mencetak sejarah dengan memiliki perempuan presiden pertama atau presiden berkulit hitam pertama, Tuchrello pun menyatakan harapannya. "Saya merasa ini adalah hal yang baik, dulu 10 hingga 20 tahun lalu, mungkin bahkan tidak ada perempuan di senat, tapi saya kira sekarang AS lebih multikultural. Saya kira adalah baik kalau presiden bisa menjadi simbol multikultur itu, karena presiden mencerminkan rakyat biasa," katanya. Ia pun menambahkan bahwa keluarganya juga multikultur. Ditemui dalam kesempatan yang sama, mantan penasehat Presiden AS di era Gerald Ford, Roderick M. Hills mengatakan bahwa jika McCain berhadapan dengan Hillary di tahap akhir, maka McCain memiliki peluang menang yang lebih besar daripada bila berhadapan dengan Obama. Sejumlah orang berpendapat, Hillary tidak akan membawa banyak perubahan, dan pemerintahannya akan mirip dengan suaminya (Bill Clinton). Sedangkan, Obama dan McCain, lanjut dia, lebih menawarkan hal-hal baru. Sementara itu, senator dari distrik Oregon pada 1991-1995, Mike Kopetski, dan juru bicara Partai Demokrat luar negeri di Indonesia, Arian Ardie, menyatakan optimismenya bahwa AS akan memiliki perempuan presiden atau berkulit hitam pertama. Adrie bahkan mengatakan, hubungan antara Pemerintah RI dengan AS akan jauh lebih baik, jika Partai Demokrat menang dalam Pemilihan Presiden AS. "Saya kira kandidat calon presiden dari Partai Demokrat dapat meningkatkan hubungan secara lebih baik," katanya. Disebutkannya, akan ada formulasi yang lebih baik dalam menggagas hubungan dwi-pihak. Pernyataan yang berbeda dikemukakan oleh Hills, karena menurut dia, McCain memahami Asia lebih baik dari pada yang lain. "Super Tuesday" adalah hari Selasa Akbar, di mana sejumlah besar negara bagian di AS melaksanakan pemilihan. Negara-negara bagian ini tersebar di seluruh negeri dan mewakili negara-negara bagian yang beragam, seperti California, New York, Missouri dan North Dakota. Dengan begitu, banyaknya pemilihan yang dilaksanakan pada "Super Tuesday" yang bertepatan dengan 5 Febuari 2008, maka acap kali momen itu sangat menentukan pencalonan. Para kandidat juga harus berkampanye secara serentak di 20 negara bagian. Pada kesempatan itu, Dubes Hume mengatakan bahwa "open house" dilakukannya untuk memberikan gambaran mengenai sistem pemilihan Presiden di AS kepada masyarakat Indonesia. (*)

Oleh Oleh Gusti N.C. Aryani
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008