Palu (ANTARA News) - Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Poso sampai saat ini telah menerbitkan 300 sertifikat tanah kepada masyarakat yang menjadi korban konflik beberapa tahun lalu, sebagai salah satu upaya untuk memulihkan daerah itu. Kasubbag TU BPN Poso B.S Monepa di Palu, Senin, mengatakan ratusan sertifikat baru itu merupakan pengganti benda serupa yang sudah dinyatakan hilang atau musnah terbakar akibat konflik. "Sebelum menerbitkannya, kami telah melakukan pemeriksaan di lapangan untuk membuktikan bahwa tanah itu ada dan luasnya sesuai dengan yang dilaporkan masyarakat," kata Monepa. Namun demikian, dia mengatakan, pihaknya sebenarnya menargetkan mampu menerbitkan sebanyak 500 sertifikat tanah baru sampai akhir 2007 lalu. "Keterbatasan waktu lah yang menyebabkan target tidak terpenuhi. Apalagi ada beberapa warga yang kurang bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah," ujarnya. Kasus sertifikat hilang atau musnah terbakar paling banyak terdapat di Mayajaya (107 kasus) dan Uelene (61 kasus) yang terletak di Kecamatan Pamona Selatan. Penerbitan sertifikat tanah bagi masyarakat korban konflik di Poso itu merupakan program dari pemerintah pusat yang menggunakan dana recovery. BPN Poso sendiri mendapatkan alokasi dana sebesar Rp950 juta. "Sampai saat ini dana yang telah terpakai sebesar Rp500 juta. Sisa dananya masih ada di Bappeda Poso," kata Monepa. BPN Poso sendiri, katanya, tidak memiliki program untuk mengatasi hak keperdataan masyarakat korban konflik. "Kami tidak ada anggaran untuk hal itu," katanya, dan berharap agar pemerintah pusat mampu memberi dana serta memperpanjang pelaksanaan penyelesaian hak-hak keperdataan, karena masih banyak tanah atau bangunan yang sampai saat ini bermasalah akibat lama ditinggalkan pemiliknya. Selain penerbitan sertifikat tanah baru, BPN Poso juga menyelesaikan beberapa kasus mengenai penerbitan surat perumahan sebanyak 101 lembar dan masalah peralihan tanah di bawah tangan sebanyak 324 kasus. Ketua DPRD Poso Sawerigading Pelima mengatakan, kasus hak-hak keperdataan di Poso yang masih tersisa harus sesegera mungkin diselesaikan karena rentan akan timbulnya permasalahan baru. Menurutnya, korban konflik di pengungsian sudah lama merindukan kembali ke tanah atau pun rumahnya yang sudah beberapa tahun ditinggalkan sejak konflik Poso memanas pada tahun 2000 hingga 2002. Tapi, lanjutnya, mereka terkejut begitu melihat kenyataan bahwa tanahnya sudah diokupasi orang lain sehingga mereka enggan untuk kembali. "Daripada muncul permasalahan baru lebih baik mereka tetap berada di pengungsian. Jadi, kasus ini harus lebih diperhatikan pemerintah selain masalah lainnya," kata Pelima.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008