Jakarta (ANTARA News) - Kewenangan penyidikan perkara tindak pidana korupsi oleh jaksa tidak bertentangan dengan UUD 1945, upaya pemberantasan korupsi oleh berbagai instansi justeru sebagai satu bentuk mekanisme cheks and balances. "Dengan demikian jika ada instansi yang tidak menindaklanjuti satu perkara tindak pidana korupsi, maka dapat dilakukan penyidikan oleh instansi lain sehingga hukum dapat ditegakkan secara konsisten dan konsekuen," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto mewakili pihak terkait (Kejaksaan) dalam sidang lanjutan uji materiil tentang kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. "Di Indonesia, selain kejaksaan masih ada KPK dan Polri yang bisa melakukan penyidikan. Tapi kewenangan ini tidak pernah dipermasalahkan," ujarnya, Rabu. Wisnu juga mengingatkan bahwa persidangan MK yang digelar adalah bukan ajang saling tuding kebobrokan antar instansi penyidik. Tetapi untuk menguji kebenaran materiil atas pasal 30 ayat 1 huruf (d) UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. "Apabila yang dibahas adalah tuduhan-tuduhan antar instansi seperti yang dikemukkan salah seorang pengacara, hal itu tidaklah sebanding dengan ribuan penyidikan (1.117 kasus) yang berhasil dituntaskan kejaksaan," ujarnya. Sementara jika ingin bicara kelemahan penyidikan lain, Wisnu mencatat adanya kelemahan penanganan perkara yang dilakukan penydik Polri. Berdasarkan data tahun 2007, Polri mengajukan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebanyak 204.883 kasus, namun berkas perkara tahap I yang diserahkan ke kejaksaan hanya 127.335 perkara, diterbitkan SP3 sebanyak 104.4448 perkara. Dan yang ditindaklanjuti ke pelimpahan berkas tahap II, artinya diserahkan ke penuntutan hanya 95.735 perkara. "Berdasarkan data ini berarti terdapat ratusan ribu perkara yang dinyatakan P21, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan penyerahan tahap II oleh penyidik. Fakta ini tentunya patut dipertanyakan," tegasnya. Namun demikian, Wisnu kembali mengingatkan bahwa substansi persoalannya bukanlah menyangkut tudingan kebobrokan antarinstansi. Tetapi ada persoalan yang lebih mendasar yakni apakah kewenangan penydikan yang dimiliki kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Sementara itu ahli dari pemerintah Prof Andi Hamzah menjelaskan, di belahan negara-negara lain jaksa juga mempunyai kewenangan untuk menyidik. Konsep wewenang kejaksaan, tegasnya juga diterapkan di Rusia, Jerman, China, Thailand, Georgia bahkan di negara Prancis sendiri Jaksa Tinggi mempunyai kewenangan mengangkat dan memberhentikan penyidik polisi yang dianggap tidak mampu dalam melakukan penyidikan. Sedang ahli pemerintah dari Deplu Arif Havas Pegroseno memaparkan jika muncul ketidakjelasan siapa yang berwenang melakukan penyidikan, maka akan muncul dampak politis bagi politik luar negeri Indonesia. "Akan membuat mitra Indonesia bingung dengan siapa mereka berhubungan soal penyidikan dan demikian halnya dengan hubungan bilateral Indonesia," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008