Medan (ANTARA News) - Rencana privatisasi PTPN (PT Perkebunan Nusantara) III, IV, dan VII, diminta untuk dikaji ulang karena tidak sesuai dengan amanat UUD 45 dan hanya menuruti konsep neo liberalisme yang bisa memporak-porandakan perekomian Indonesia. Menurut anggota Komisi B DPRD Sumatera Utara, Abdul Hakim Siagian, privatisasi adalah "resep" lembaga donor IMF (International Monetary Fund) yang ditolak di banyak negara karena bertujuan memporak-porandakan perekonomian negara berkembang seperti Indonesia. "Privatisasi dalam praktiknya menimbulkan banyak masalah, apalagi `resep` IMF itu menurut pandangan saya punya boncengan lain dan sangat buruk bagi perekonomian kita dalam jangka panjang," kata politisi dari PAN itu, Senin. Hakim Siagian menerangkan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan telah mengatur segala sesuatu terkait privatisasi. Pada Pasal 3 disebutkan privatisasi harus mendapat persetujuan dari DPR-RI dan harus dilaksanakan atas prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, kewajaran serta atas prinsip harga terbaik. Sementara pada Pasal 5 ditegaskan, penjualan saham harus berdasarkan ketentuan pasar modal, dijual langsung kepada investor atau kepada manajemen dan karyawan perseroan itu sendiri, sementara kajian lebih lanjut harus dilakukan oleh menteri. "Berangkat dari situ, bila tak ada pilihan lain dan PTPN III, IV dan PTPN VII tetap harus diprivatisasi, menurut hemat saya pilihannya harus berdasarkan Pasal 5 PP No. 33/2005, yakni sahamnya dijual kepada manajemen atau kepada karyawan atau langsung kepada investor," katanya. Hanya saja, karena privatisasi tidak sesuai dengan semangat Pasal IIIIII UUD 1945, Hakim Siagian mendesak dilakukan kajian secara komprehensif dari berbagai aspek karena PTPN merupakan aset bangsa. "Karena privatisasi tidak bagus bagi perekonomian bangsa, sangat beralasan bila dicurigai atau paling tidak dicermati agar PTPN III, IV dan PTPN VII jangan sampai terperangkap dalam `resep` IMF itu," katanya.(*)

Pewarta: surya
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008