Jakarta (ANTARA News) - Berawal dari sebuah telepon pada Rabu (13/2) pagi, perhatian dunia sontak beralih ke Indonesia ketika harapan-harapan tentang membumikan demokrasi di Myanmar kembali didengungkan. Secara khusus, Sekertaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menelpon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono guna membahas proses demokratisasi di Myanmar setelah penguasa di negeri itu menetapkan waktu bagi diadakan referendum. Pemimpin tertinggi di Myanmar menetapkan Mei 2008 sebagai waktu yang tepat untuk melakukan referendum rancangan konstitusi dan menggelar pemilihan umum dua tahun mendatang (2010). Menurut Presiden Yudhoyono, PBB mengharapkan peran Indonesia untuk memelihara komunikasi dengan pimpinan Myanmar guna menindaklanjuti proses demokratisasi di negara tersebut. "Saya memilih untuk jadi bagian dari proses itu, betul-betul diimplementasikan, karena dunia sudah menunggu terlalu lama. Daripada ikut menyangsikan, ikut tidak percaya, sehingga tidak bergerak maju," tutur Yudhoyono. Pemerintah RI sepenuhnya mempercayai janji pemerintah Myanmar dan siap berkontribusi sekalipun dunia internasional banyak yang meragukan terwujudnya demokrasi di Myanmar. "Kita siap berkontribusi apa pun. Kita pun siap kalau diminta jadi `monitoring mission`," katanya. Desakan agar Indonesia meningkatkan perannya guna menyelesaikan kasus Myanmar tidak hanya muncul dari PBB. International Crisis Group (ICG) --organisasi non-pemerintah-- yang berpusat di Brussels juga mendesak Indonesia memimpin penyelenggaraan pertemuan regional tentang krisis politik di Myanmar, seperti peran yang dimainkan dalam mengawali proses perdamaian Kamboja pada 1988. "Indonesia dapat memainkan peran amat penting, mungkin dengan menjadi tuan rumah pertemuan regional sejalan dengan penyelenggaraan Jakarta Informal Meeting (JIM) yang menjadi titik awal proses perdamaian di Kamboja selama 1988-1989," kata Presiden ICG Gareth Evans sebagaimana dikutip kantor berita Jerman (dpa). Evans menunjuk penumpasan brutal oleh junta yang berkuasa di Myanmar terhadap aksi protes yang dipimpin biksu Buddha pada September 2007, yang menewaskan sedikitnya 31 orang dan menuai kecaman komunitas internasional. Usulan tersebut segera disambut oleh para pengamat masalah Myanmar. "Saya pikir itu gagasan yang baik, karena Indonesia salah satu anggota Dewan Keamanan PBB sekarang dan merupakan negara yang paling cocok dalam ASEAN untuk memulai proses tersebut," kata Win Min, dosen masalah Myanmar di Universitas Chiang Mai, Thailand. Win Min mencatat bahwa Indonesia di bawah pimpinan Presiden Yudhoyono bersama Jenderal Senior Than Shwe dari Myanmar tahun lalu sepakat untuk memulai dialog politik dengan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi. Tapi prosesnya berjalan lambat dan mencerminkan resistensi junta terhadap setiap bentuk ancaman terhadap kekuasaan mereka, yang mereka pegang sejak 1962. Kolaborasi PBB Sebagai langkah awal komitmennya mendukung proses demokratisasi di Myanmar, pemerintah RI melakukan tukar pikiran dengan utusan khusus Sekjen PBB untuk Myanmar Ibrahim Gambari. Gambari sengaja berkunjung ke Indonesia guna bertemu dengan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dan Presiden Yudhoyono sebelum melakukan lawatan ke Myanmar pada pekan pertama Maret. Ditemui seusai melakukan pertemuan dengan Presiden Yudhoyono di Kantor Kepresidenan Jumat (22/2), Gambari menyatakan bahwa ia melihat peran Indonesia dan juga negara-negara ASEAN lainnya dalam mendorong proses penyelesaian Myanmar sangat baik dan mengharapkan peran lebih besar dari negara-negara itu. "Myanmar adalah anggota ASEAN dan saya percaya ASEAN memiliki peran yang sangat penting dan posisi mereka dalam masalah Myanmar cukup jelas," katanya. Gambari --yang bukan baru pertama kali ke Indonesia guna membahas kasus Myanmar-- juga mengatakan bahwa PBB dan Indonesia memiliki pandangan yang sama, yaitu menginginkan Myanmar yang damai, bersatu, stabil dan sejahtera. Sementara itu, Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda menilai keputusan pemerintah Myanmar menetapkan tenggat waktu sebagai suatu perkembangan positif karena itu adalah kali pertama pemerintah Myanmar mengindikasikan adanya jadwal guna melaksanakan elemen-elemen yang terkandung dalam peta jalan menuju demokrasi. "Dan, pemerintah RI mengharapkan agar hal itu diiringi oleh suatu proses yang kredibel dan substantif sehingga masyarakat internasional pun bisa melihat perkembangan yang nyata," ujarnya. Lebih lanjut ia mengatakan pemerintah RI menilai, masalah Myanmar bukan sekadar isu demokrasi dan HAM sehingga penanganannya harus meliputi seluruh dimensi, antara lain dari sisi kepentingan nasional dan kedaulatan Myanmar. "Kita tahu bahwa mereka menghadapi berbagai masalah di dalam negeri yang terkait dengan separatisme dan kemiskinan. Oleh karena itu, cara kita menangani isu tersebut jangan semata-mata terfokus pada masalah HAM," ujarnya. Pemerintah Indonesia menilai ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk menyelesaikan kasus Myamar yaitu proses demokrasi, pembangunan ekonomi dan proses keamanan serta persatuan nasional. Sebagai sahabat, pemerintah RI berharap terwujudnya pemilu dapat berlangsung secara inklusif, transparan, dan mengikutsertakan semua elemen pelaku demokrasi, termasuk kaum minoritas tanpa harus menganggu stabilitas dan keutuhan Myanmar. Sementara itu, berdasarkan undang-undang yang baru, tokoh pro-demokrasi Aung San Suu Kyi tidak akan diijinkan untuk ikut serta dalam pemilihan presiden tahun 2010 karena ia menikahi seorang warga asing, Michael Aris, berkebangsaan Inggris yang meninggal dunia pada 1999. Selain itu juga karena anak-anak pasangan itu telah memiliki paspor asing. Gambari mengkonfirmasi bahwa salah satu agenda lawatannnya ke Myanmar bulan depan adalah untuk membicarakan keikutsertaan tokoh oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi, dalam pemilihan umum yang rencananya digelar pada 2010. "Dari sudut pandang PBB proses referendum pada Mei 2008 dan proses pemilu pada 2010 haruslah transparan dan melibatkan semua pihak sehingga mendapatkan pengakuan yang luas," kata Gambari. "Draft konstitusi seharusnya juga mendapatkan dukungan maksimal dari publik yang bisa dicapai melalui penerapan prinsip-prinsip yang transparan. Saat ini konsultasi dan penyusunannya masih terus berlanjut," katanya. Terkait hal itu, pemerintah Indonesia berharap Gambari bisa memperoleh kapasitas yang lebih besar dalam melaksanakan tugasnya terutama guna berhubungan dengan para jenderal senior Myanmar, aktor-aktor politik dan termasuk Suu Kyi sehingga dapat menjembatani antar pihak yang bertikai di Myanmar.(*)

Pewarta: Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008