Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Ichsanurdin Noersy mengatakan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan saat ini berawal dari pasokan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat, dan tidak terpenuhinya pasokan dinilai akibat kesalahan kebijakan pemerintah yang begitu liberal. Menurut Noersy, saat dihubung ANTARA, di Jakarta, Selasa, stabilitas harga gagal dilakukan bukan lah hal pertama terjadi di Indonesia. Dia menilai jika pemerintah memilih insentif, disinsentif, ataupun subsidi untuk menstabilkan harga, hal tersebut akan gagal. "Intervensi pemerintah akan sia-sia jika dilakukan pada sektor komoditas yang tidak dikuasai oleh pemerintah," ujar dia. Hal tersebut terlihat dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (3/3), yang memperlihatkan bahwa harga komoditas bergejolak menyumbang inflasi 0,33 persen. Sedangkan untuk komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah justru menyumbang deflasi 0,12 persen. Noersy mengatakan kasus inflasi akibat melambungnya harga kebutuhan pokok juga terjadi pada era Orde Baru. Hanya saja Bulog berperan sehingga gejolak dapat diredam. "Konsep Bulog ini sukses dicontoh oleh Fhilipina, Thailand, dan Malaysia, untuk mengendalikan harga," katanya. Noersy menjelaskan bawa sesungguhnya intervensi adalah keputusan politik pemerintah yang cerdas menghadapi liarnya pengusaha dalam berbisnis. Korea Selatan, Abu Dhabi, China, India, dan Amerika Latin, menjadi negara yang terkena krisis, namun dapat menikmatinya, ujar dia. Hal tersebut dikarenakan Korea Selatan mulai melepaskan diri dari ketergantungan asing, Amerika Latin tidak mengikuti kebijakan energi Amerika Serikat, dan untuk China dan India jelas bahwa mereka lepas dari pengaruh liberalisasi ekonomi. Noersy mengatakan pemerintah harus memiliki hukum besi untuk mengatur harga komoditi penting bagi masyarakat, yang sesuai dengan amanat konstitusi.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008