Jakarta (ANTARa News) - Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) menyambut baik langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tertangkapnya seorang Jaksa berinisial UTG di sebuah rumah daerah Jakarta Selatan kemarin adalah langkah besar dalam pemberantasan korupsi, kata Koordinator KAKI, Rahman Tiro. Dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa, Rahman mengatakan, patut diduga bahwa praktik mafia peradilan sebenarnya bukan hanya terjadi di pengadilan, melainkan juga di intansi lain, yakni kepolisian dan kejaksaan. Kasus tertangkapnya jaksa UTG ini menunjukkan bahwa dugaan praktek korupsi di lembaga penegak hukum hampir tidak tersentuh oleh reformasi. "Kasus Jaksa UTG ini mengingatkan pada kasus dugaan pemerasan yang dilakukan oleh oknum Jaksa terhadap sejumlah Kepala Sekolah di Karawang Jawa barat beberapa waktu lalu. Sungguh ironis para penegak hukum seperti Jaksa UTG yang seharusnya memelopori agenda pemberantasan korupsi, justru diduga terjebak dalam praktek korupsi itu sendiri," katanya. Berdasarkan Pasal 30 UU Kejaksan No.16 Tahun 2004, katanya, Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan Kejaksaan adalah institusi paling menentukan dalam keberhasilan pemberantasan korupsi. Menurut Rahman, dalam kasus korupsi seperti BLBI maka aparat penegak hukum lain seperti Hakim justru bergantung pada hasil kerja Kejaksaan. Kejaksaan bisa diibaratkan sebagai seorang "play maker" dalam sepak bola, sementara hakim ibarat seorang striker atau penyerang. "Jika Kejaksaan memutuskan bukti tidak cukup untuk ditingkatkan ke pengadilan, maka hakim di pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Atau jika Kejaksaan membuat surat dakwaan dan tuntutan yang lemah, maka hakim juga tidak bisa membuat putusan yang memberatkan terdakwa," katanya. Disisi lain pengawasan kepada Jaksa dalam yang mengusut pemberantasan korupsi sangatlah lemah. Dengan wewenang yang demikian besar serta pengawasan yang sangat lemah maka sangat mungkin seorang Jaksa bisa menekan saksi atau terdakwa dalam tindak pidana korupsi untuk menyerahkan dana yang sangat besar. Rahman menduga, kemungkinan uang cash senilai Rp6 Milliar yang diamankan oleh KPK saat menangkap Jaksa UTG adalah dana yang diminta oleh Jaksa UTG kepada AS. Dia menambahkan sebenarnya dari modus operandi yang dilakukan Jaksa UTG adalah bukan penyuapan oleh AS, karena kejaksaan Agung sendiri sudah menghentikan kasus BLBI dengan alasan dasar hukumnya tidak kuat. "Jadi, tidak ada masalah lagi dengan obligor, sehingga diduga modus operandinya adalah pemerasan oleh Jaksa UTG dan bukan penyuapan," katanya. KAKI berpendapat bahwa terjadinya pemberian dana kepada Jaksa yang mengusut kasus korupsi lebih disebabkan oleh tidak kredibelnya sang Jaksa tersebut. "Tidak akan mungkin ada saksi atau terdakwa yang bersedia memberikan dana dalam jumlah besar tanpa persetujuan atau bahkan mungkin tekanan dari sang Jaksa," katanya. KAKI juga menyarankan sebaiknya mulai tahun 2008 ini KPK mengalihkan perhatiannya dari korupsi biasa ke korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. "Langkah ini sebenarnya juga sesuai dengan tujuan awal pembentukan KPK yaitu menjerat para pelaku korupsi dari lingkungan penegak hukum," demikian Rahman Tiro.(*)

Pewarta: rusla
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008