Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah wartawan Jerman dan Indonesia berdialog mengenai Islam, media dan demokrasi, selama dua hari di Jakarta, untuk saling mengungkapkan pemahaman mengenai budaya, politik dan agama Islam di kedua negara serta peranan media. Dialog yang dibuka pada Selasa itu banyak mengungkapkan kondisi Islam di Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan juga kondisi di Jerman, sebagai negara Eropa yang mempunyai tiga juta lebih warga Muslim pendatang khususnya dari Turki. Sejumlah pembicara dari Jerman dan Indonesia yang tampil pada hari pertama antara lain Dr Hans Ludwing Frese dari Kleio Humanities, Bremen, Andreas Zumach, Romo Franz Magnis Suseso, Prof Azyumardi Azra, Prof. Siti Musda Mulia, Prof. Dr Deddy Mulyana dan Saur Hutabarat. Para peserta dialog yang mewakili sejumlah media Jerman dan Indonesia terlihat antusias membahas Islam di Indonesia dan peserta dari Jerman banyak bertanya tentang kebebasan pers, peran media dan kepekaan umat Islam terhadap pemberitaan Barat antara lain dengan mengambil contoh karikatur Nabi Muhammad oleh media Denmark tahun 2006 dan 2008. Tema dialog "Islam, Demokrasi dan Kebebasan Media - Tantangan dan Perspektif bagi Indonesia dan Jerman pada awal abad 21" itu dibahas dalam empat kelompok tema yaitu Hubungan Islam dan Demokrasi, Pemberitaan mengenai Islam di media Jerman dan Indonesia, Masalah Kebebasan Media dan Jaminan Kebebasan Media. Franz Magnis Suseno pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, Indonesia mempunyai dan menjalankan demokrasi. Banyak partai politik berhaluan Islam juga menghendaki demokrasi termasuk PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang dengan jelas menyatakan dukungannya pada demokrasi. "Hanya kelompok-kelompok kecil Islam yang menolak demokrasi,"tegasnya. Pendapat tersebut juga dibenarkan Prof Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa sejak negara Indonesia terbentuk sudah menegaskan dasar negara yang demokratis, dimulai dengan Demokrasi Terpimpin pada era kepemimpinan Presiden Soekarno dan demokrasi Pancasila pada era Soeharto hingga berlanjut pada era reformasi. Kelompok Islam juga banyak yang menolak penerapan hukum syariah, meskipun harus diakui memang ada kelompok kecil Islam yang menghendaki terbentuknya negara Islam di Indonesia. Azyumardi Azra menegaskan pentingnya untuk membangun kebudayaan masyarakat yang lebih kuat. Sementara itu Prof Siti Musdah Mulia yang mendapat pertanyaan tentang pemakaian jilbab, kembali menegaskan bahwa jilbab bukanlah identitas Islam. Ada sebagian pendapat mengatakan bahwa jilbab adalah budaya dan ada yang mengatakan bahwa jilbab adalah kewajiban. "Ini hanya sebuah pilihan. Saya terbiasa memakainya sejak kecil jadi kalau tidak pakai saya merasa `naked`. Malah saya menganjurkan dimana-mana agar tidak membuat keharusan pemakaian jilbab, kalau pemahamannya salah dan menimbulkan kemunafikan, misalnya menganggap jilbab sebagai simbol Islam dan kesalehan," katanya. Rainer Nolte, Kepala Bagian kebudayaan dan Komunikasi Departemen Luar Negeri Jerman memandu diskusi yang menjadi lebih hangat pada sesi sore ketika Prof. Deddy Mulyana menyinggung tentang kebebasan pers dan sejumlah peserta dari Indonesia meminta penegasan tentang kebebasan pers dikaitkan dengan kepemilikan media, sementara peserta Jerman lebih meminta tanggapan tentang bentuk kebebasan pers di Indonesia. Dialog hari pertama ditutup 30 menit lebih lambat dari jadual semula dan akan berlanjut pada Rabu untuk membahas kebebasan media dengan menghadirkan pembicara Uni Lubis dari ANTV, Anett Keller dari Asia Pacific Times, Ishadi SK dari Trans TV juga Prof Dr Siegfried Weischenberg dari Universitas Hamburg, Leo Batubara dari Dewan Pers Indonesia, Prof. Dr Bernd Blobaum, Dr Thomas Hanitzsch, Prof.Dr Martin Loffeholz dan Fetty Fajriati. Pada Selasa malam seluruh delegasi diundang menghadiri jamuan malam di kediaman Dubes Jerman untuk Indonesia, Paul Freiherr von Maltzahn.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008