Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meningkatkan status dugaan kartel dalam industri minyak sawit mentah (CPO) dari kajian menjadi monitoring yang dapat dilanjutkan menjadi kasus penyelidikan jika ditemukan bukti yang mendukung. "Dalam rapat komisioner KPPU sudah diputuskan dimasukkan dalam monitoring. Monitoring bisa memakan waktu sebulan untuk dilanjutkan menjadi kasus. Kalau dari monitoring ditemukan bukti kami bisa menjadikannya sebagai perkara, di sana nanti akan ditetapkan terlapornya siapa," kata Wakil Ketua KPPU, Tresna P. Soemardi, di sela-sela perayaan ulang tahun ke-8 KPPU di Jakarta, Rabu. Menurut Tresna, saat ini KPPU sedang mencermati delapan perusahaan besar dalam industri CPO yang bergesak di sektor hulu dan hilirnya termasuk kebijakan pemerintah yang terkait. "Sedang kita cermati apakah mereka betul-betul bersaing secara sehat. Tentu perusahaan yang besar berusaha mempertahankan posisinya, tentu merekalah yang (bisa) mengendalikan harga, kalau mengendalikan harga kan bahaya," jelasnya. Menurut Tresna, kebijakan pemerintah yang mengharuskan pabrik CPO memiliki kebun yang dapat memasok 20 persen kapasitas pabrik justru mendorong adanya praktek kartel dalam indutri tersebut. "Itu kan berarti hulu dan hilir dikuasai, harusnya kan tidak ada keharusan pabrik CPO punya kebun, biarkan saja perkebunan berusaha profesional dan fokus. Jadi, tidak harus dari hulu sampai hilir dikuasai," ujarnya. Tresna menilai kebijakan pemerintah untuk menahan kenaikan harga minyak goreng tidak akan efektif jika dugaan kartel dalam industri hulu dan hilir CPO terbukti. "Kalau dikuasai (sektor hulu dan hilirnya) akan terjadi pengendalian harga, harga TBS (tandan buah segar) dikendalikan, termasuk CPO dan minyak goreng, dan semuanya akan dikendalikan pelaku usaha," tuturnya. Lebih lanjut Tresna memaparkan KPPU juga akan mengamati infrastruktur dalam jaringan distribusi CPO dan minyak goreng. "Infrastruktur yang rusak bisa mengundang penahanan daripada distribusi, dan menimbulkan posisi dominan," tambahnya. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008