Jakarta (ANTARA News) - Lembaga riset ekonomi Indef menilai, kebijakan konvensional berupa intervensi pasar valuta asing dengan tujuan menstabilkan rupiah yang dilakukan oleh bank sentral, sudah tidak efektif lagi. "Kebijakan konvensional berupa intervensi pada pasar valuta asing harus dikurangi dan dilakukan secara lebih selektif, mengingat hal ini sudah tidak lagi efektif," kata ekonom Indef Ikhsan Modjo dalam jumpa pers Indef di Jakarta, Senin. Menurut Indef, gejolak yang ada saat ini lebih karena persoalan jangka panjang yaitu produksi dan kepercayaan, dan bukan akibat dari persoalan jangka pendek berupa ketidakseimbangan pasar uang. Indef menilai, saat ini terjadi anomali dalam perekonomian Indonesia khususnya dengan adanya depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Saat ini, mata uang nasional seharusnya menguat jika ditinjau dari kecenderungan penguatan nilai mata uang negara lain terhadap dolar AS. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Demikian pula dengan kaedah keseimbangan suku bunga antar negara, penurunan Fed Rate dari 3,00 persen menjadi 2,25 persen (sementara BI rate bertahan pada angka 8,00 persen) menyebabkan meningkatnya paritas (perbedaan) suku bunga antara AS dan Indonesia. Hal itu membuat rupiah "undervalued". Mengikuti kaedah suku bunga itu, menurut Indef, pasar semestinya mengoreksi nilai rupiah ke atas terhadap dolar AS. Tetapi yang terjadi beberapa hari terakhir justru sebaliknya. Sehingga dari tinjauan ini, bisa disimpulkan bahwa depresiasi yang ada bukan diakibatkan terutama oleh faktor suku bunga. "Akan tetapi anomali ini lebih disebabkan oleh adanya ekspektasi inflasi domestik yang lebih tinggi ketimbang negara lain termasuk AS, pada bulan-bulan mendatang," kata Ikhsan Modjo. Ekspketasi inflasi itu sendiri disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, potensi peningkatan defisit anggaran akibat belum tuntasnya "fine tuning" anggaran. Kedua, masih banyaknya gangguan sisi produksi dalam negeri baik karena faktor alam atau bukan, terutama di pertanian dan industri. Ketiga, kasus suap yang melibatkan BI dan pemilihan gubernur baru pada lembaga itu yang sarat dengan intrik kelas tinggi. Menurut Indef, suku bunga bukanlah faktor dibalik peningkatan ekspektasi inflasi dan depresiasi rupiah. Karena itu seharusnya BI Rate turun, setidaknya sama dengan penurunan Fed rate sebesar 75 basis poin menjadi 7,25 persen. "Penurunan ini selain untuk meredam capital inflow berupa dana-dana jangka pendek, yang terbukti bisa bersifat sangat merusak. Juga untuk menstimulus konsumsi dan investasi domestik guna mencegah terjadinya resesi domestik," kata Ikhsan Modjo. Menurut dia, pada saat yang sama, penurunan itu juga harus diimbangi dengan langkah-langkah antisipasi lain terutama yang terkait dengan nilai tukar rupiah. Langkah yang dapat ditempuh BI, selain intervensi selektif adalah pembuatan peraturan percepatan konversi valas yang dimiliki para eksportir, terutama dari BUMN. "Cara lain adalah pemberian fasilitas pembelian dalam dolar oleh BI bagi BUMN, seperti misalnya pembelian minyak oleh Pertamina. Dengan cara ini mereka tidak perlu lagi masuk ke pasar valas yang menyebabkan tekanan terhadap rupiah," katanya. Hal lain yang tak kalah penting adalah faktor psikologi pasar terhadap rupiah. Peningkatan kredibilitas BI sebagai pengendali moneter adalah krusial. "Karena itu politisasi hukum dan stigmatisasi BI dalam kasus BLBI harus sejauh mungkin dihentikan. Bila politisasi ini terus berlanjut, dan hukum menjadi komoditas politik, sulit berharap ada perbaikan psikologis pasar yang pada gilirannya akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan menganggu stabilitas makro secara umum," kata Ikhsan Modjo. (*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008