Muko Muko, Bengkulu (ANTARA News) - Populasi Harimau Sumatera (Phantera Tigris Sumaterae) yang hidup di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terus menurun, dan saat ini diperkirakan jumlahnya tinggal 136 ekor, dari 150 ekor pada 2007 lalu. Perburuan dan pembukaan lahan diketahui menjadi ancaman dan penyebab berkurangnya populasi binatang langka endemik Pulau Sumatera ini, ungkap Koordinator Flora dan Fauna International (FFI) wilayah Sumatera, Debby Martin, Kamis, saat menjelaskan hasil penelitian mereka . Penelitian tersebut dilakukan Flora Fauna International (FFI) bersama Balai Besar TNKS dan beberapa perguruan tinggi di tanah iir dan internasional melalui Monitoring Harimau Sumatera (MHS). Dari penelitian yang melibatkan Universitas Bengkulu, khususnya Agung Jurusan Kehutanan dan Biologi ini juga diketahui bahwa konflik antara manusia dengan harimau yang berujung pada pembunuhan binatang tersebut juga menjadi penyebab lain berkurangnya populasi. "Dari penelitian terakhir, jumlah populasi saat ini tidak lebih dari 136 ekor dan ini termasuk 25 persen dari seluruh populasi Harimau Sumatera yang masih hidup. Pembukaan lahan dan konflik menjadi ancaman terbesar, kalau perburuan sudah berkurang," katanya. Faktor pemicu Debby mengatakan, perambahan areal hutan khususnya Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Lindung (HL) menjadi perkebunan, yang akhir- akhir ini semakin marak menjadi pemicu terjadinya konflik antara harimau dengan manusia. Pembukaan lahan tersebut mengakibatkan berkurangnya wilayah jelajah harimau untuk mencari mangsanya sehingga harimau secara tidak sengaja memasuki perkebunan warga, pembukaan lahan juga memudahkan aksi perburuan terhadap Harimau Sumatera. "Baru-baru ini di Lebong Selatan Kabupaten Lebong, seekor harimau terlihat berada di kebun karet milik warga dan ini menimbulkan keresahan. Kita sudah melakukan penelusuran dan memastikan kondisi sudah aman sehingga harimau selamat, manusia juga selamat," kata perempuan berkebangsaan Inggris yang fasih berbahasa Indonesia ini. Debby yang berkantor di Sungai Penuh Kabupaten Kerinci, Jambi mengatakan, kasus konflik antara manusia dengan harimau yang ditangani timnya tidak kurang dari 20 kasus pertahun. Ia mengatakan, hingga saat ini tim monitoring berhasil meminimalkan risiko sebab pada umumnya munculnya harimau di sekitar pemukiman penduduk tidak lain untuk mengincar hewan peliharaan penduduk untuk dijadikan mangsa. Seorang staf FFI yang menjadi pimpinan program ini Agung Nugraha mengatakan, saat ini pihaknya melakukan survei transit Harimau Sumatera di empat provinsi yang wilayahnya masuk dalam kawasan TNKS (Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan). Sejak 2004 lalu , tim monitoring memasang camera trashing/ perangkap kamera di 88 sampling area, dan berdasarkan survei deteksi sekitar 90 persen aktivitas Harimau Sumatera berada dalam kawasan hutan konservasi TNKS. "Saat ini kita fokus di empat lokasi khususnya di wilayah Pesisir Selatan Sumatera Barat sampai ke Musi Rawas, Lubuk Linggau. Area survei antara 4-40 km dari perbatasan ke dalam kawasan. Penelitian ini melibatkan mahasiswa dari Dice University of Kent Inggris, PHKA, BB TNKS termasuk mahasiswa Unib," jelas Alumnus Universitas Andalas ini. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008