Palu (ANTARA News) - Madi (29), pemimpin penganjur "Agama-Adat" di Pegunungan Gawalise, pinggiran Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), yang tewas ditembak polisi saat penangkapan Sabtu (5/4), dimakamkan secara Islam. Madi di kubur di kampung halamannya, Dusun I Salena, Keluruhan Buluri, Kecamatan Palu Barat, Minggu siang. Letak kuburan Madi hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumah yang ditinggali istri dan kelima anaknya. Sebelum dikebumikan, jenazah Madi dishalatkan di rumahnya oleh belasan warga Salena yang diimami ustadz Nurdin Lakaru. Lakaru sendiri merupakan imam mesjid di dusun yang berjarak sekitar 10 kilometer arah barat Kota Palu tersebut. Jenazah Madi diserahkan Kapolresta Palu AKBP Sunarto kepada keluarganya sudah dalam keadaan terkafani. Proses pemandian dan pengkafanan jenazah Madi berlangsung di kamar mayat rumah sakit Bhayangkara Polda Sulteng. Istri Madi, Marni (31), dan kelima anaknya, diberi kesempatan melihat wajah Madi untuk terakhir kali sebelum jenazah dishalatkan. Tak ada derai air mata maupun isak tangis dari keluarga terdekat Madi, kecuali wajah tegang yang diam membisu. Kesedihan juga tak nampak di wajah seratusan pelayat saat mengantar jenazah salah satu buronan nomor wahid polisi ini ke tempat peristirahatan terakhirnya. Madi menjadi buronan dan masuk DPO (daftar pencarian orang) polisi karena ia dan sekitar 20 orang pengikutnya melakukan perlawanan saat hendak ditangkap pada 25 Oktober 2005. Dalam peristiwa itu, tiga anggota polisi dan dua orang pengikut Madi terbunuh. Disyukuri Madi yang tewas setelah tiga peluru milik anggota tim Cepat Reaksi Tanggap Detasemen Khusus (CRT Densus) 88 Polda Sulteng menerjang tubuhnya karena melakukan perlawanan saat ditangkap, ternyata kematiannya disyukuri oleh warga Salena termasuk Marni, istrinya sendiri. Marni mengaku tidak bersedih atas kepergian lelaki yang telah memberinya lima anak. Ia bahkan dengan tegas mengungkapkan kesenangannya karena merasa terbebas dari ketakutan. "Meski dia suami dan bapak dari anak-anak saya, tapi saya senang dengan kematiannya karena selalu dihantui ketakutan sejak dia mendalami ajaran yang diyakininya sampai mengakibatkan banyak orang mati," katanya menegaskan. Sejak insiden berdarah 25 Oktober 2005, Madi yang menjadi buronan polisi selama 2,5 tahun tak pernah kembali menemui istri dan anak-anaknya sampai akhirnya tewas tertangkap oleh polisi. "Saya melihat kembali wajahnya setelah menjadi mayat," kata dia dan menambahkan selama Madi melarikan diri, kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya dipenuhi Marni dengan cara berkebun. Masuna (45), kepala Dusun I Salena, mengatakan kematian Madi merupakan kebebasan warga setempat dari cengkaraman ketakutan massal akibat trauma dengan insiden berdarah 25 Oktober 2005. Hal senada diungkapkan warga Salena lainnya, Endi (35). Ia mengatakan, banyak warga Salena membiarkan kebunnya terbengkalai karena takut bertemu saat mereka pergi ke kebun. "Warga Salena takut karena Madi memaksakan orang-orang untuk mengikuti ajaran yang diyakininya," kata Endi. Setelah melakukan pengintaian lebih sepekan, sebanyak 19 anggota CRT Densus 88 Polda Sulteng, Sabtu sore, melakukan penyergapan terhadap Madi di kampung Lompo, masih wilayah Dusun Salena. Madi yang disergap saat berada di sebuah pondok berdinding daun rumbia terpaksa ditembak di kaki kiri, bahu kanan, dan perut tembus di belakang, karena melakukan perlawanan. Tiga warga Salena yang berada di sekitar lokasi penyergapan ikut diamankan, yakni Mertua Madi bernama Aminuddin (50 tahun), serta Sania (55) dan anaknya Rumi (26). Ketiga warga Salena ini masih menjalani pemeriksaan intensif di Polda Sulteng. Marni meminta polisi segera melepas ketiga orang tersebut karena bukan pengikut Madi dan hanya kebetulan berada di Lompu yang memang area kebun warga. Endi, juga meminta ibunya, Sania, dan adiknya, Rumi, dilepas karena tidak terkait dengan Madi. "Kami sudah sampaikan ke Kapolresta Palu mengenai masalah ini dan anggota keluarga diminta datang ke Polda," kata dia. Sampai Minggu siang, ketiga warga Salena tersebut masih berada di Mapoldan Sulteng. Tidak ada penjelasan rinci dari warga Salena soal "agama adat" yang dikembangkan Madi di pegunungan Gawalise. Murni istrinya menyebut Madi hanya mengembangkan praktik perdukunan yang jika melakukan ritual sampai tak sadarkan diri. Dokumen bertajuk "Perguruan Karangan Dentete 10 Kungfu Anak Rama Membela Masyarakat Kaili" yang ditemukan polisi pasca bentrok berdarah 25 Oktober 2005 bisa menjadi petunjuk. Dalam dokumen tersebut, terdapat beberapa hal yang harus ditaati dan ditinggalkan mereka yang menjadi anggota kelompok Mahdi, antara lain jaga ketaatan kepada amir (pimpinan), tinggalkan mengharap daripada Allah, tinggalkan meminta kepada Allah, tinggalkan memakai barang teman tanpa seizin, dan tinggalkan sifat boros dan mubazir. Keanehan ajaran yang dikembangkan Madi, yaitu melarang jasad orang yang sudah mati dikuburkan karena dapat dihidupkan kembali. Madi dan pengikutnya juga identik dengan ikat kepala putih dan selempang kuning. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008