Sydney (ANTARA News) - Presiden Timor Timur Jose Ramos-Horta, yang terluka dalam percobaan pembunuhan pada Februari lalu, mengatakan dalam pernyataan yang disiarkan Selasa, bahwa dia mungkin akan mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir. "Saya akan berpidato di depan parlemen pada saat saya mundur dan saya tidak akan berjanji kepada negara ini bahwa saya akan menjalankan tugas sepenuh masa jabatan," kata Ramos-Horta dalam wawancara dengan suratkabar The Australian. Peraih Hadiah Nobel Perdamaian yang terpilih menjadi presiden selama lima tahun masa jabatan pada Mei tahun lalu itu, berbicara di kota Australia utara Darwin di mana dia sedang dalam penyembuhan setelah keluar dari rumahsakit. Dia mengatakan bahwa ia secara fisik telah membaik, namun kurang merasa yakin mengenai perasaannya terhadap negara. "Saya akan bisa mengetahui manakala saya tiba kembali di rumah saya, tempat di mana saya ditembak, apakah saya benar-benar telah pulih kembali. Saya pada dasarnya orang yang sangat sensitif, namun saya juga bisa bertindak dingin dan tegas." Ramos-Horta, 58 tahun, ditembak di luar tempat kediamannya di ibukota negara kecil Asia Tenggara itu pada 11 Februari lalu oleh kalangan pemberontak yang juga melakukan serangan terpisah terhadap Perdana Menteri Xanana Gusmao, yang selamat dari upaya pembunuhan itu tanpa luka sedikitpun. Pemimpin pemberontak Alfredo Reinado tewas dalam serangan di rumah presiden itu, namun jumlah pemberontak lainnya masih cukup besar. Ramos-Horta mengatakan, gagasannya untuk mengundurkan diri dari kepresidenan itu `sangat berat, meskipun secara pribadi saya lebih suka menjadi warga negara biasa dan sambil menulis buku. "Saya akan menjadi sensitif terhadap apa yang uskup-uskup dan warga Timor katakan." Presiden mengatakan keberhasilan penggantinya, ketua parlemen Fernando Lasama de Araujo, membuatnya lebih mudah untuk mempertimbangkan pengunduran dirinya. "Saya lebih leluasa karena saya tahu bahwa jika saya mundur, sudah ada seorang atau dua orang yang bisa menjalankan tugas." Namun demikian, dia mengatakan bahwa penembakan tersebut telah mengubah bagaimana dia akan bisa tinggal di Dili. "Sebelum peristiwa percobaan pembunuhan itu saya bisa pergi kemana saja. Saya pergi dengan sebuah bus umum kecil dengan masyarakat lainnya, pergi ke restoran-restoran setempat dan cukup membayar hanya satu dolar saja untuk makan saya, dan saya bisa mengundang semua pelanggan dan membayarkan semua makanan mereka." "Masyarakat tampak benar-benar senang bertemu dengan saya di balik lorong-lorong kecil di Dili. Ya, karena itu sekarang saya akan berpikir dua kali mengenai hal itu," katanya. Pasukan internasional telah ditempatkan di Timor Timur sejak 2006, setelah terjadi desersi besar-besaran di kalangan anggota angkatan bersenjata yang memicu pertempuran antara pihak militer dan kepolisian. Kekacauan kemudian meluas menjadi aksi kekerasan di jalan-jalan di ibukota Dili dan sekitarnya, yang menewaskan sedikitnya 37 orang, demikian AFP.(*)

Pewarta: imung
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008