Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Rizal Ramli menilai krisis ekonomi yang melanda dunia, seperti yang disebut George Soros sebagai menuju ke titik nadir, pada dasarnya telah terjadi di Indonesia dan pertumbuhan makro ekonomi yang dibanggakan pemerintah hanya berlangsung di sektor finansial yang dinikmati segelintir masyarakat kalangan atas. "Sementara sebagian besar rakyat Indonesia justru kian dihimpit kemiskinan dan beratnya beban hidup," kata Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia itu di Jakarta, Selasa. Dikatakannya bahwa kian beratnya beban hidup sebagian besar rakyat Indonesia kini bukan lagi ilusi dan di banyak daerah sangat mudah dijumpai rakyat yang hidupnya menderita dihimpit kemiskinan. Sebelumnya, George Soros selaku "fund manager" kelas dunia berpendapat bahwa krisis keuangan saat ini menjadi yang terburuk sejak Depresi Besar pada 1929, dan Krisis kali ini tengah menuju titik nadir atau paling dasar. Soros memperkirakan perlu waktu sedikitnya tiga bulan dari sekarang untuk kembali pulih dan ia juga memprediksi pasar akan jatuh sekali lagi setelah sempat pulih, khususnya kekacauan di bursa saham, lembaga keuangan, kekacauan penyaluran kredit, dan gejolak investasi portofolio seperti saham, obligasi, serta surat utang lainnya. Sehubungan dengan hal itu, Rizal Ramli menilai, pertumbuhan sektor finansial yang sangat dibanggakan pemerintah saat ini pun mulai terkoreksi. Hal itu antara lain ditandai dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) dan terkoreksinya nilai tukar rupiah. Hal yang lebih penting dari semua itu, lanjut Rizal Ramli, kehidupan sebagian besar rakyat semakin berat. Terus melambungnya harga berbagai kebutuhan pokok telah membuat rakyat semakin menderita sehingga tidak pada tempatnya lagi jika pemerintah masih saja sibuk berdebat tentang angka kemiskinan. Saat ini, ia menegaskan, rakyat membutuhkan adanya program pemerintah yang mampu mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan penderitaan hidup. "Setiap hari media massa memberitakan anak-anak yang meninggal karena gizi buruk di berbagai daerah. Belum lagi berita ibu yang tega membunuh anak-anak kandungnya karena tidak tahan dibelit kemiskinan. Semua ini fakta," katanya. Untuk mengatasi hal ini, mantan Menko Perekonomian itu mendesak pemerintah agar benar-benar berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat penyediaan lapangan kerja dan bahan pokok dengan harga terjangkau. Rizal Ramli mengakui bahwa anggaran anti-kemiskinan pemerintah dalam tiga tahun terakhir memang naik 2,8 kali. Namun, ia menilai, pada saat yang sama jumlah rakyat miskin bukannya berkurang, tapi justru bertambah banyak. Menurut dia, hal itu menunjukkan dua hal yakni program antikemiskinan tidak efektif karena tidak menyentuh problem yang mendasar dan juga banyak kebijakan pemerintah yang pro neoliberalisme yang justru menjadi bagian dari proses pemiskinan struktural. "Kebijakan impor produk pertanian dan ekspor pupuk, misalnya, telah memaksa petani Indonesia semakin miskin. Produk mereka tidak mampu bersaing dengan hasil pertanian impor," katanya. Begitu juga dengan penggusuran para pedagang dan permukiman yang telah mengakibatkan rakyat kehilangan mata pencaharian. Selain itu usaha kecil dan menengah (UKM) bukannya didorong habis-habisan, tapi justru dipersulit dengan berbagai izin yang harus dipenuhi. "Di lapangan, UKM menjadi korban pemerasan petugas karena ketiadaan atau kesulitan dalam mengurus perizinan. Belum lagi kebijakan ekspor berbagai bahan baku, rotan, misalnya, telah membuat UKM gulung tikar," katanya. Berdasarkan kenyataan ini, lanjut dia mengatakan, pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan pro rakyat. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar rakyat, seperti pangan, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. (*)

Pewarta: eri
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008