Washington (ANTARA News) - Harga bahan makanan yang tinggi dan ancamannya terhadap stabilitas politik dan pembangunan menjadi perhatian para pemimpin ekonomi dunia yang bertemu di Washington, dengan seruan perlunya bantuan seperti yang dinyatakan Bank Dunia. Masalah itu dibahas selama pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang berlangsung akhir pekan lalu, dengan fokusnya pada masalah gejolak keuangan dunia dan prospek pertumbuhan ekonomi yang menurun. Sementara itu, kelomppok tujuh negara industri (G-7) hanya memberi perhatian sekadarnya terhadap masalah itu, sehingga mengecewakan mereka yang merasa masalah itu memerlukan komitmen politik dan kepemimpinan negara-negara kaya untuk mencari jalan keluarnya. IMF menyerukan persatuan global untuk mengembalikan perekonomian dunia pada jalurnya dengan menyatakan, "pembuat kebijakan harus melanjutkan usahanya untuk mengatasi tantangan yang berkaitan dengan krisis keuangan." Dalam perannya, Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengatakan jutaan orang dapat terkena risiko lebih besar karena biaya pangan yang melonjak dan mendesak pemerintahan-pemerintahan untuk menanggulanginya sekarang juga, agar kenaikan harga yang terus meninggi tidak berakibat pada kemudian hari. "Kami memperkirakan harga pangan yang naik dua kali lipat selama tiga tahun terakhir dapat secara potensial menekan 100 juta orang di negara-negara berpendapatan rendah menjadi miskin," kata Zoellick pada akhir pertemuan Bank Dunia, Minggu. "Ini bukan hanya pertanyaan tentang kebutuhan jangka pendek. Ini tentang menjamin generasi penerus tidak perlu terkena dampaknya." Kepala IMF Dominique Strauss-Kahn memperingatkan,"sebagaimana kita tahu, harus belajar dari masa lalu untuk meredakan masalah ini." Saat menutup pertemuan internasional, Presiden AS George W. Bush menyebutkan adanya krisis pangan dunia yang meningkat dan pada Senin menyepakati dana bantuan pangan darurat senilai 200 juta dolar AS. "Dana bantuan pangan tambahan ini akan ditujukan mengatasi dampak harga komoditi yang naik dalam program bantuan pangan darurat AS dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bantuan pangan yang tidak terantisipasi di Afrika dan negara lainnya," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Dana Perinio dalam pernyataannya. Saat IMF dan Bank Dunia bertemu di akhir pekan lalu, terjadi banyak protes di beberapa negara berkembang terkait harga pangan yang tinggi, khususnya di Haiti, di mana perdana menterinya dipaksa turun dari jabatannya. Bagi Elizabeth Stuart, penasihat kebijakan senior di Washingtion untuk lembaga amal Oxfam International, pernyataan IMF dan Bank Dunia disambut baik, namun masalah pangan ini masih sebagai agenda akhir. "Sangat penting Dominique Strauss-Kahn dan Zoellick terus menyoroti masalah tersebut," kata Stuart. Pada saat yang sama, "Jelas bahwa IMF dan Bank Dunia tidak dapat mengatasi masalah itu sendirian dan memerlukan keterlibatan G-7 dalam kepemimpinan politiknya," katanya. G-7 -- Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang dan AS -- tidak membahas harga berbagai komoditi yang tinggi dalam pernyataan pertemuannya, tetapi memfokuskan pada tindakan untuk meningkatkan sistem keuangan dalam menghadapi apa yang Strauss-Kahn sebut sebagai krisis terburuk sejak masa depresi besar tahun 1930-an. Mekanisme pasar Harga bahan makanan pokok telah naik tajam dalam beberapa bulan terakhir ini memicu protes kekerasan di banyak negara termasuk Mesir, Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Ethiopia, Madagaskar, Filipina dan Indonesia. Laporan Bank Dunia pekan lalu menyatakan harga gandum dunia melonjak 181 persen selama 36 bulan hingga Februari, sedang harga pangan keseluruhan naik 83 persen. Ditanya tentang masalah suplai beras di Asia, tempat beberapa negara eksporter menahan pengirimannya untuk melindungi pasar mereka, pejabat tinggi IMF mengatakan, tindakan itu seharusnya dihindari agar tekanan pasar terpecahkan dengan sendirinya. "Saya kira tindakan terbaik adalah mengijinkan mekanisme pasar berjalan, dimana membiarkan harga-harga naik kemudian akan ada respon terhadap suplainya," kata David Burton, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF. "Saya kira pengalaman historis menunjukkan anda akan mengharapkan respon (produksi) yang signifikan untuk kondisi harga yang naik," tambahnya. Bagi Stuart dari Oxfam, mekanisme pasar hanya jawaban pendek. "Masalahnya adalah mutlak struktural," katanya, sambil menyebutkan pola perdagangan, dampak permintaan bioenergi yang meningkat, suplai pangan serta perubahan lingkungan dan iklim. "Mekanisme pasar, jelas tidak cukup," katanya, sambil menekankan kebutuhan kepemimpinan politik untuk memberikan lebih banyak dana dan bantuan langsung ke masalahnya. (*)

Pewarta: muhaj
COPYRIGHT © ANTARA 2008