Jakarta (ANTARA News) - Ketua Tim Forum Stabilitas dan Sistem Keuangan (FSSK), Raden Pardede, mengatakan bahwa pemerintah harus membatasi besaran subsidi dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global. "Untuk menghadapi ketidakpastian ini, pemerintah harus menetapkan batas budget subsidi yang diberikan," kata Raden Pardede, dalam acara diskusi Dinamika dan Prospek Pasar Modal Indonesia di Jakarta, Selasa. Menurut Pardede, dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara Perubahan (ABPN-P) yang baru sudah ada batasan harga minyak mentah hingga 95 dolar AS per barel, sehingga memberi kepastian terhadap para investor. "Jika subsidi yang diberikan hingga harga 95 dolar As per barel, maka total subsidi mencapai sekitar Rp33 triliun. Apabila ini tidak dibatasi dan harga minyak mencapai di atas 100 dolar AS, bisa-bisa 30 persen lebih anggaran belanja itu untuk subsidi, sedangkan sektor lainnya bagaimana," katanya. Pardede juga mengungkapkan bahwa kekurangan dana APBN pasti dicarikan dari pembiayaan, salah satunya dengan cara menerbitkan surat utang negara (SUN). "Penerbitan SUN ini harus dilihat dari kemampuan pasar untuk menyerapnya, apabila subsidi tidak dibatasi, maka para investor khawatir akan ketidakmampuan negara dalam melakukan pembayaran, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan daya serap pasar kecil," ujarnya. Untuk itu, lanjutnya, pembatasan subsidi ini perlu dilakukan pemerintah guna menjaga kepercayaan pasar dan menhadapi ketidakpastian ekonomi global. Ketidakpastian ekonomi global masih dipicu ketidakpastian dan gejolak yang terjadi pada perekonomian Amerika Serikat (AS) yang melambat, serta gejolak yang terjadi pada pasar keuangannya. Perekonomian AS didominasi oleh sektor jasa yang didalamnya juga termasuk sektor keuangan. Karena itu dampak krisis dan perlambatan ekonomi sangat dirasakan sektor keuangan Indonesia (pasar saham dan obligasi). Pardede mengungkapkan ketidakpastian masih tetap menyelimuti benak investor. Pasalnya tidak ada seorangpun yang tahu kapan krisis keuangan yang melanda AS itu bakal berakhir. "Ibaratnya seorang yang luka dan `nanahnya` masih belum seluruhnya keluar dari tubuh yang bersangkutan," kata Raden Pardede. Dengan kondisi seperti ini, katanya, "yield" (imbal hasil) di "emerging market (pasar negara berkembang) akan semakin tinggi yang menyebabkan naiknya risiko premium sehingga para investor akan menarik dan menaruhnya ke pasar negara maju yang risikonya kecil. Namun saat ini, kata Pardede, kondisi pasar di Indonesia kembali pulih setelah adanya pembatasan subsidi di APBN-P, bahkan investor asing masih menambah investasinya sekitar Rp2 triliun menjadi sekitar Rp83 triliun. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008