Jakarta (ANTARA) - Pada hari Minggu, 4 Agustus 2019, pemadaman listrik disertai gangguan jaringan telepon seluler, layanan transportasi, dan fasilitas publik lainnya terjadi bersamaan di Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah, selama 10 sampai dengan 12 jam. Ini merupakan padam listrik massal yang terlama dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia selain tahun 2005.

Aktivitas masyarakat sehari-hari terhambat karena tidak dapat menghidupkan pendingin udara dan pompa air, mengecas ponsel/laptop/komputer, menonton televisi, mandi, dan lainnya, kecuali sebagian kecil mereka yang memiliki genset, sehingga dapat menyediakan listrik sendiri tanpa harus mendapatkannya dari jaringan PT PLN (Persero).

Semua orang terpengaruhi oleh serangkaian peristiwa yang tidak menguntungkan ini termasuk Presiden Joko Widodo, menteri kabinet, anggota parlemen, pengusaha, pekerja profesional, orang tua, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum lainnya.

Pada saat itu, tidak ada yang tahu, termasuk PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), apa yang telah menyebabkan pemadaman listrik secara total (black out) itu.

Orang-orang bingung dan frustrasi karena pemadaman listrik ternyata berlangsung cukup lama antara 10 sampai dengan 12 jam. Meskipun kejadian 4 Agustus 2019 itu seperti Earth Hour selama 10 sampai dengan 12 jam dan menyebabkan indeks kualitas udara Jakarta menjadi moderat keesokan paginya, namun kami semua tetap frustrasi dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Informasi sementara, penyebab pemadaman listrik yang melanda Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah itu karena ada gangguan di sirkuit transmisi 500 kV yang menyalurkan daya listrik dari Jawa Timur ke Jawa bagian barat.

Sistem kelistrikan di Pulau Jawa dan Bali yang sudah terkoneksi ternyata memiliki kelemahan walaupun secara kapasitas daya pembangkitnya, sudah cukup andal.

Kelemahannya adalah ketidakseimbangan daya dan kebutuhan listrik antara Jawa bagian barat dan timur. Setiap harinya ada sekitar 2.000 MW sampai 3.000 MW yang dialirkan dari Jawa Timur ke Jawa bagian barat.

Kejadian kemarin itu, ketika PLN tengah melakukan pekerjaan pemeliharaan di sistem transmisi bagian selatan karena memang beban dalam kondisi rendah pada akhir pekan, saat bersamaan terjadi gangguan dua sirkuit transmisi bagian utara di saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 500 kV ruas Ungaran-Pemalang.

Gangguan SUTET Ungaran-Pemalang itu membuat aliran listrik di dua sirkuit transmisi bagian utara turun drastis dan ini yang kerap disebut sebagai N minus 2.

Kemudian, ketika beban dialihkan ke transmisi bagian selatan ternyata mempengaruhi pula sirkuit Depok-Tasikmalaya, sehingga kejadian ini disebut N minus 3. Artinya terjadi gangguan listrik pada 3 sirkuit SUTET secara bersamaan. Sirkuit transmisi yang tersedia tidak dapat menahan selisih beban yang ada, apalagi sedang ada pemeliharaan, sehingga terjadilah pemadaman secara total kemarin itu.

Pemadaman listrik yang terjadi tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga PLN sendiri. Pada waktu pemadaman, beban turun dari biasanya 22.000 MW menjadi hanya 13.000 MW atau hilang 9.000 MW.

Potensi kerugian dihitung dari jumlah daya yang hilang dikali lama durasi dan tarif listriknya. Walaupun PLN dirugikan atas kejadian ini, PLN akan tetap bertanggung jawab atas kerugian yang dialami pelanggannya. PLN akan memberikan kompensasi sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2017.

PLN berencana merogoh kocek sekitar Rp840 miliar untuk memberi ganti rugi kepada pelanggan terdampak pemadaman listrik selama 10 sampai dengan 12 jam di Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah pada Minggu itu.

Baca juga: Jokowi minta pemadaman listrik tidak terulang lagi

Kompensasi itu ditaksir dari perhitungan total pelanggan terdampak pemadaman yang diperkirakan mencapai 21,9 juta. Besaran kompensasi itu tidak disalurkan dalam bentuk uang, melainkan pemotongan biaya tagihan listrik berikutnya.

Sebagai bagian dari solusi agar kejadian serupa tidak terulang ke depannya, maka harus ada sistem ketersediaan listrik dan pengelolaan manajemen listrik yang diklaster dan tidak terpusat di satu pembangkit listrik saja.

Pembangkit listrik diklaster per provinsi di Jawa, sehingga dapat meminimalisasi potensi serupa di kemudian hari.

Selain itu, Direksi PLN yang sebelumnya hanya ditentukan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (KBUMN) harus menyerahkan sebagian otoritasnya kepada Kemeneterisn ESDM, agar mereka yang lebih memahami soal energi dan kelistrikan dapat menunjuk siapa yang layak menjabat Direksi PLN.

Selanjutnya, sangat penting pula, ada pelayanan dan pemeliharaan yang tepat dan sesuai standar internasional di saluran transmisi sistem interkoneksi Jawa beserta konverter transformer, yang mengubah dari tegangan tinggi ke rendah dan tegangan rendah ke tinggi secara andal.

Saya juga ingin mengusulkan agar sistem transportasi massal seperti KRL dan MRT memiliki pembangkit listrik sendiri untuk berjaga-jaga kalau ada pemadaman listrik lagi.

Saya berharap ke depannya kejadian seperti ini akan lebih bisa diantisipasi pemerintah melalui PLN, KESDM, dan KBUMN.

*) Satya Hangga Yudha W.P., B.A. (Hons), MSc adalah Co-Founder dan Penasihat Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials, Duta dan Alumni Jakarta Intercultural School (JIS), dan Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Baca juga: BPKN: Evaluasi sektor kelistrikan secara menyeluruh
Baca juga: Menhub dorong KAI-MRT tingkatkan dukungan pasokan listrik dari PLN

 

Pewarta: Satya Hangga Yudha W.P., B.A. (Hons), MSc *)
Editor: Ahmad Wijaya
COPYRIGHT © ANTARA 2019