Brisbane (ANTARA News) - Tudingan Presiden Jose Ramos Horta bahwa "elemen eksternal" ikut membantu pemimpin kelompok tentara pembelot, Alfredo Reinado, melakukan aksi-aksi perongrongan terhadap stabilitas Timor Leste menggelinding bak "bola panas". Pihak yang terkena imbas dari bola panas Presiden Horta itu adalah pemerintah RI kendati elemen eksternal yang dimaksud pemimpin Timor Leste tersebut juga dipahami sebagai orang-orang yang punya kaitan dengan Reinado di Australia. Pemerintah RI meminta klarifikasi disertai bukti karena Presiden Horta menyebut Alfredo yang tewas dalam insiden serangan 11 Februari 2008 yang nyaris merenggut nyawanya itu banyak menjalin komunikasi dengan "elemen" di Indonesia. Belakangan ia bahkan mengarahkan tudingannya ke Metro TV dan Desi Anwar, wartawati senior stasiun televisi yang berbasis di Jakarta itu, berkaitan dengan wawancara khusus Metro dengan Alfredo Reinado pada 23 Mei 2007. Manajemen Metro TV dan Desi Anwar sudah membantah semua tuduhan tak berdasar Horta yang ia lontarkan pada 18 April lalu itu dan telah mengirimkan somasi kepada sang presiden melalui kedutaan besar negaranya di Jakarta. Pada 18 April malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta mengumumkan keberhasilan Polri menangkap tiga warganegara Timor Leste yang diduga terlibat dalam pemberontakan dan insiden serangan 11 Februari lalu. Ketiga orang itu adalah Egidio Lay Carvalho, Jose Gomes, dan Ismail Sansao Moniz Soares. Mereka melarikan diri ke Indonesia secara ilegal. Sementara itu, di Darwin, Australia, dilaporkan bahwa Alfredo memiliki rekening di Bank Commonwealth senilai 800 ribu dolar Australia atas nama Angelita Pires, perempuan Australia keturunan Timtim yang disebut-sebut media setempat sebagai kekasih Alfredo. Dari kasus penangkapan tiga warga negara Timor Leste di Indonesia dan keberadaan rekening Alfredo atas nama Angelita Pires menunjukkan rentannya Indonesia dan Australia tersangkut dalam lingkar masalah Timor Leste karena di kedua negara itu hidup para "diaspora" asal Timor Timur (Timtim). Kehadiran diaspora atau komunitas yang menetap di negara asing namun tetap menjalin hubungan dengan negara asal sudah menjadi fenomena global. Bahkan Peneliti Lembaga Kajian Kebijakan Internasional "Lowy Institute" Australia, Dr.Michael Fullilove, melihat fenomena diaspora ini semakin berkembang, mengental dan menguat di era globalisasi ini berikut dengan beragam implikasi yang menyertainya. Seperti terungkap dalam laporan risetnya berjudul "World Wide Webs: Diasporas and the International System" yang dipublikasi Februari lalu, implikasi dari kehadiran para diaspora tersebut dapat dianalogikan sebagai pisau bermata dua. Dari perspektif keamanan misalnya, Departemen Pertahanan Inggris pernah mensinyalir bahwa para diaspora juga merupakan medium penyampai beragam risiko sosial, seperti kejahatan lintas negara, spionase, kekerasan antar-masyarakat maupun terorisme. Tapi sebaliknya, para diaspora juga bisa membantu proses perdamaian. Kedua hal ini dilakukan komunitas Irlandia Amerika dan Tamil di luar negeri, kata Michael Fullilove. Bagaimana dengan para diaspora Timtim yang ada di Indonesia? Eksistensi mereka ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang integrasi Timtim dengan Indonesia (1976-1999), khususnya para pendukung pro-integrasi yang keluar dari Timtim pasca-pengumuman hasil penentuan pendapat yang dimenangkan kelompok pro-kemerdekaan tahun 1999. Dari perspektif kultural dan sosial, mereka tetap memiliki keterkaitan batin dengan tanah leluhur dan sanak-saudara mereka yang ada di Timor Leste. Dalam konteks ini, Dr.George Quinn, Indonesianis yang juga pakar masalah Timor Leste di Universitas Nasional Australia (ANU), melihat signifikansi peran konstruktif para diaspora Timtim ini dalam membantu penyehatan hubungan Indonesia-Timor Leste. Kuncinya adalah keluwesan pemerintah Indonesia dan Timor Leste dalam menjaga hubungan kekerabatan para diaspora Timtim yang ada di Indonesia dengan sanak-saudara mereka di Timor Leste melalui pemberian akses saling berkunjung yang mudah bagi keduanya. "Kalau mereka bisa saling berkunjung, hal ini akan sangat membantu pulihnya hubungan baik kedua negara," kata George Quinn. Sangat signifikan Keberadaan diaspora Timtim di Indonesia yang jumlahnya diperkirakan sebanyak 40 ribu hingga 60 ribu orang itu sangat signifikan dalam membantu penguatan hubungan Jakarta dan Dili asal keduanya mau secara pro-aktif menjaga hubungan kekerabatan antarwarga Timtim. "Diaspora Timor Timur umumnya sudah betah dan senang tinggal di Indonesia dan mereka pun sudah jadi `aset` bagi Indonesia. Kalau kembali ke Timtim, tidak ada insentif buat mereka," kata George Quinn. Akademisi penerima penghargaan tertinggi bidang pendidikan dari Rektor ANU tahun 2007 itu berpendapat keberadaan diaspora Timtim di luar negeri bukanlah hal baru. Pada saat Timtim masih menjadi bagian dari Indonesia, sekitar 20 ribu hingga 30 ribu orang Timtim juga keluar dari daerahnya dan menetap di Australia dan Portugal. Kini lebih banyak diaspora Timtim justru tinggal di Indonesia. "Walau tidak ada angka yang tepat, jumlah mereka diperkirakan mencapai 40 ribu hingga 60 ribu orang," kata kepala Pusat Asia Tenggara Fakultas Studi-Studi Asia ANU itu. Keberadaan puluhan ribu orang diaspora Timtim di Indonesia maupun sekitar 20 ribu orang lainnya di Australia, menurut George Quinn, tidak menjadi masalah bagi hubungan Indonesia dan Australia dengan Timor Leste. Namun tetap saja ada di antara mereka itu ada yang punya hubungan kekerabatan dengan beragam orang di Timor Leste. Hubungan yang sedemikian rupa ini menjadi pelik di saat para pengacau keamanan di Timor Leste, termasuk mereka yang terlibat dalam insiden 11 Februari, mendapat perlindungan dari sanak keluarga dan teman-teman mereka, katanya. "Walaupun Indonesia tidak ikut campur tapi kehadiran mereka ini bisa menjadi godaan bagi para pemberontak Timor Leste untuk lari ke Indonesia," katanya menanggapi tuduhan Presiden Ramos Horta tentang adanya "elemen eksternal" ikut terlibat dalam upaya pembunuhan yang gagal terhadap dirinya pada 11 Februari lalu. Kemungkinan Alfredo Reinado mendapat dukungan orang-orang Timtim yang ada di Australia bisa saja terjadi karena dia misalnya disebut-sebut punya hubungan dengan wanita Australia keturunan Timtim, Angelita Pires, katanya. "Alfredo barangkali punya jaringan koneksi baik di Australia maupun di Indonesia yang bersimpati atau langsung mendukung untuk mengacau di sana (Timor Leste)," kata peneliti yang sudah berulang kali mengunjungi Timor Leste baik sebelum maupun setelah lepas dari Indonesia. Terlepas dari semua kemungkinan itu, harapan bagi terbangunnya masa depan hubungan Indonesia dan Timor Leste yang lebih baik dan dewasa justru lebih penting. Kunjungan lima hari Perdana Menteri Xanana Gusmao di Jakarta sejak Senin (28/4) juga dapat dikatakan sebagai bukti dari kemauan politik Dili untuk membangun masa depan hubungan yang lebih baik dengan Indonesia. Kemauan baik untuk ikut membantu Timor Leste mengurai masalah di dalam negerinya itu pulalah yang telah ditunjukkan Indonesia dengan penangkapan tiga orang warga negaranya yang melarikan diri ke Indonesia secara ilegal setelah insiden 11 Februari itu. Bagi kalangan pemuda Timor Leste yang sedang menuntut ilmu di Indonesia, juga tumbuh kesadaran kolektif bahwa hubungan yang baik dengan Indonesia adalah pilihan yang paling rasional dan realistis bagi kedua negara yang saling bertetangga ini. Adanya kesadaran kolektif kelompok terdidik Timor Leste itu antara lain diperkuat oleh hasil studi lapangan Janelle Marburg, peserta program "Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies" (ACICIS) tahun 2004. Dari hasil observasi dan wawancaranya dengan sepuluh mahasiswa Timtim di Jawa Timur, Marburg menyimpulkan bahwa mereka itu berharap Timor Leste dan Indonesia dapat tumbuh menjadi negara yang demokratis, memiliki kepastian hukum, modern dan maju. Janelle Marburg juga menyimpulkan bahwa kehadiran para mahasiswa Timor Leste di Indonesia juga diakui para respondennya sebagai bukti dari "hubungan baik" kedua negara.(*)

Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008