Cilacap (ANTARA News) - Tiga terpidana mati kasus bom Bali I yakni Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas menyatakan siap menjalani eksekusi mati asalkan dijalankan sesuai hukum yang benar atau hukum Islam. "Pada prinsipnya, hal itu (eksekusi, red.) bagi klien kami tidak menjadi problem, sepanjang dasar hukumnya kuat," kata Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Achmad Michdan di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Kamis, sebelum menuju Lembaga Pemasyarakatan Batu di Pulau Nusakambangan, tempat ketiga kliennya mendekam. Menurut Achmad Michdan , saat ini kliennya masih melakukan upaya hukum berupa pengajuan peninjauan kembali (PK) yang mereka ajukan sendiri (PK ketiga, red.). Namun hingga sekarang, kata dia, belum ada laporan mengenai putusan perkara antara lain berupa pemberitahuan apakah perkara tersebut sudah diterima Mahkamah Agung atau belum. "Biasanya diberitahukan apakah PK tersebut sudah dilimpahkan atau belum, tetapi hingga saat ini belum ada laporan," kata dia menegaskan. Ia mengatakan, harus ada proses hukum yang optimal bagi kliennya yang menjalani hukum mati. Terkait hal tersebut, kata dia, TPM akan meminta pelaksanaan sidang PK dilakukan secara terbuka sehingga ada suatu "just a flow" (arus, red.) yang jelas dan transparan. Dengan demikian, lanjutnya, akan terlihat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penerapan "retroactive" (berlaku surut, red.) akan menjadi bagian yang dipertimbangkan oleh majelis hakim, dapat diterapkan atau tidak. "Kalau tidak, ini menjadi preseden hukum secara internasional karena kasus Imam Samudra dan kawan-kawan dicermati secara internasional, tidak hanya lokal atau kepentingan penegakan hukum di negara ini. Jadi ada persoalan "nonretroactive" yang mengganjal," katanya. Menurut dia, kasus pemboman lainnya jika dikenai sanksi pidana sesuai Undang-Undang (UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme, red.), masih dapat "dipertanggungjawabkan" karena undang-undangnya sudah ada ketika mereka disangkakan melakukan tindakan terorisme. Namun menam hari setelah kejadian bom Bali baru dibuat Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, red.). "Proses pembuatan undang-undang tersebut, menurut hemat kami tidak dilalui dengan sempurna atau cacat," katanya. Namun hingga saat ini, kata dia, belum ada yang mempersoalkan keberadaan undang-undang tersebut. Menurut dia, TPM akan mengajukan "judicial review" atau uji material terhadap UU Teroris tersebut karena dianggap cacat. "Dengan demikian, bukan berarti mereka (Amrozi cs, red.) takut dipidana mati, mereka siap. Bahkan, mereka menyetujui hukuman mati sesuai hukum Islam," kata dia menegaskan. Menurut dia, kliennya beranggapan yang pantas mengadili mereka yakni orang-orang yang paham hukum pidana Islam. Disinggung mengenai permohonan fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait pelaksanaan hukuman mati, dia mengatakan, fatwa tersebut belum turun. Terkait kedatangan TPM Ke Nusakambangan, dia mengatakan, tidak sekadar menyampaikan perkembangan kasus kliennya tetapi juga mendampingi kunjungan rutin keluarga. Dari pantauan ANTARA, dalam rombongan tersebut tampak keluarga Imam Samudra antara lain Embay Badriyah (ibunda), Zakiah Darajad (istri), Dedi Chaidir (adik), dan Lulu Jamaludin (adik). Sementara dari keluarga kakak beradik Muklas dan Amrozi antara lain terlihat Tariyem (ibunda), Khoriyanah dan Hj Lia Rachmawati (istri Amrozi), dan Eva Nurhidayati (anak Amrozi). Sebelum menyeberang ke Pulau Nusakambangan menggunakan Kapal Pengayoman II milik Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, rombongan tersebut harus menjalani pemeriksaan oleh petugas di Pos Dermaga Wijayapura Cilacap. Bahkan, seluruh barang bawaan mereka seperti berbagai buku dan makanan yang tersimpan dalam kardus diperiksa satu persatu. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008