Dili (ANTARA News)- Perdana menteri Timor Leste mendapat kecaman dari kelompok oposisi, Kamis menyangkut keputusannya untuk memberikan satu kontrak bernilai jutaan dolar kepada sahabat dekatnya untuk mengimpor beras bagi negara yang miskin itu. Pemimpin oposisi Mari Alkatiri menuduh PM Xanana Gusmao tidak mengindahkan proses pelaksanaan dalam memberikan kontrak senilai 14,4 juta dolar kepada pengusaha dan anggota partai yang berkuasa CNRT Germano da Silva. Kontrak 7 Mei itu, yang memberikan perusahaan Tres Amigos milik da Silva hak satu-satunya untuk mengimpor 16.000 ton beras, diberikan tanpa satu proses tender yang layak, kata Alkatiri kepada wartawan. "Saya mengatakan kepada sahabat saya Xanana bahwa ia telah memberikan kontrak senilai 14 juta dolar kepada satu orang, lagi pula seorang sekutunya. Ini jelas merupakan satu perbuatan yang salah. Kenapa tidak mengundang orang-orang lain untuk ikut serta?" kata Alkatiri. Kontrak itu menimbulkan keheranan di Timor Leste, dimana pemerintah pimpinan Xanana dari CNRT enggan mengeluarkan rejeki hasil dari gas alam untuk program skala luas karena kuatir menimbulkan birokrasi yang korup. Xanana membantah melakukan kesalahan, dan mengemukakan kepada wartawan, Rabu bahwa perjanjian itu ditandatangani setelah ia melakukan satu pertemuan dengan 12 importir Februari lalu bahwa persediaan beras perlu ditambah untuk menstabilkan harga. "Pada saat itu saya menanyakan siapa yang memiliki gudang dan bisa mengimpor beras, semua yang hadir diam. (Tetapi) Germano mengacungkan tangan dan mengatakan (Tres Amigos) bersedia," kata Xanana. "Saya tidak hanya mengundang Germano dan memberikan dia kontrak tersebut tetapi itu melalui perundingan-perundingan terbuka dengan importir-importir dan saya tidak melakukannya di bawah meja dan semua (para importir) menyetujuinya," katanya. Timor Leste yang memperoleh kemerdekaan tahun 2002 setelah bergabungan dengan Indonesia selama 24 tahun, adalah salah satu dari negara-negara termiskin di dunia dengan tingkat pengangguran sekitar 50 persen, demikian AFP.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008