Bercak-bercak merah itu tidak ubahnya seperti puntung rokok yang dibuang sembarangan. Tidak mengherankan bila di salah satu sarana umum ditemui peringatan dilarang membuang sirih seperti dilarang merokok yang sering dijumpai di tempat lain.
Kondisi tersebut tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat Jayapura dan Papua umumnya yang gemar mengunyah buah pinang atau sirih, sehingga gigi dan mulut mereka terlihat merah . Sebutan mengunyah sirih atau pinang sebenarnya sama saja karena kedua buah itu memang dikunyah secara bersamaan.
Didorong oleh rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai rasa sirih dan buah pinang tersebut, penulis pun membeli seonggok kecil pinang yang dijual di trotoar di pinggir jalan di kawasan Entrop, Jayapura Selatan beberapa waktu lalu.
“Yang kecil ini harganya Rp5.000 dan besar Rp10.000,” kata seorang ibu yang tampak baru saja membuka lapak pinang di pagi hari, saat lalu lintas masih sepi karena bertepatan dengan hari libur.
Si penjual itu kemudian memberi tahu cara memakan pinang setelah mengetahui bahwa sang pembeli adalah pendatang yang sama sekali masih buta dengan kebiasaan tersebut.
“Kupas dulu kulit pinangnya, kemudian buahnya dikunyah, kulitnya boleh dibuang. Buah sirih ini diolesi kapur dan kemudian kunyah, kalau sudah merasa cukup, bisa kemudian dibuang cairannya. Kalau mau telan, silakan saja,” katanya.
Setelah mengikuti instruksi, buah pinang itu pun mulai dikunyah. Rasa kesat dan pedas bercampur aduk di dalam mulut. Campuran buah sirih dan bubuk yang terbuat dari kulit kerang itu mengeluarkan cairan yang menjelma menjadi merah darah. Cairan itulah yang sering dibuang dan mewarnai jalan di berbagai sudut kota.
Tapi kejadian berikutnya sungguh di luar dugaan.
Hanya berselang sekitar tiga menit kemudian dan saat berjalan untuk kembali menuju hotel tempat menginap, kepala terasa pusing dan bumi seperti berputar, jalan sempoyongan dan perut pun mual dan berasa mau muntah. Orang-orang yang berada di sekitar dan sebelumnya sempat memperhatikan penulis “belajar” mengunyah sirih, hanya tersenyum.
“Kepala pusing itu akibat menelan kapur dan buah sirih”, kata seorang ibu pedagang lainnya. Akibatnya memang cukup fatal, hampir sepanjang hari harus menahan rasa pusing dan mual.
Dian Hendrina Kandipi, seorang rekan warga Jayapura kemudian mengingatkan agar lain kali harus berhati-hati dalam mengonsumsi sirih, terutama bagi mereka yang belum terbiasa.
“Awas kapur sirihnya keras itu, kalau mau coba pinang, cukup makan buahnya saja. Saya saja tidak kuat,” kata Dian mengingatkan.
“Orang Papua menyebutnya mabuk pinang dan nanti kalau istirahat kondisi juga akan kembali normal,” katanya menambahkan.
Penggemar sirih biasanya akan membuang kunyahan pertama sampai ketiga ketika sudah berwarna merah untuk menghindari kepala pusing dan perut mual. Selanjutnya mereka akan mengunyah sirih dalam waktu lama, seperti memakan permen.
Menyehatkan atau membahayakan?
Bagi masyarakat Papua, mengunyah sirih diyakini akan menguatkan gigi dan menjaga sistem pencernaan karena mengunyah daun sirih dan biji pinang bisa memicu produksi air liur. Air liur mengandung beragam jenis protein dan mineral yang baik untuk menjaga kekuatan gigi serta mencegah penyakit gusi. Selain itu, air liur juga senantiasa membersihkan gigi dan gusi dari sisa-sisa makanan atau kotoran yang menempel.
Menurut penelitian berjudul “Pinang Dalam Kehidupan Orang Papua di Kota Jayapura,” yang ditulis oleh Yuliana dalam sebuah tesis doktoral FISIP Universitas Hasanudin, Makassar, pinang adalah bentuk pertemanan karena buah ini bagi orang Papua (terutama anak muda) sangat efektif sebagai sarana untuk mencari teman.
Melalui buah cemilan ini, seseorang yang baru datang ke Papua misalnya akan lebih mudah memperoleh teman. Meskipun sekedar turut serta merasakan buah yang memerahkan mulut ini bila dicampur dengan kapur, namun cara itu telah menjadi sinyal yang kuat akan adanya keinginan untuk dapat diterima sebagai teman. Sebagai simbol pertemanan, karena buah pinang merupakan alat perkenalan di setiap perjumpaan.
Mengunyah pinang bersama juga tidak sekedar memberikan kenikmatan secara individu, tetapi di dalamnya tercipta rasa kedekatan, keakraban atau solidaritas sesama orang Papua yang merupakan nilai positif. Selain itu pinang juga bagi orang Papua dipahami sebagai buah yang memiliki fungsi integrasi dan fungsi politik. Fungsi tersebut ditunjukkan pada kehidupan kolektifnya yang menempatkan pinang sebagai medium. Bagi orang Papua pinang adalah kerukunan yakni sarana peredam konflik dan yang mendamaikan.
Melihat kebiasaan mengunyah pinang yang sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari warga Jayapura dan juga Papua secara keseluruhan, Yuliana menyarankan agar pemerintah dan lembaga terkait berperan aktif dalam menyediakan lebih banyak lagi tempat-tempat seperti bak pasir dan kantong plastik, ruang-ruang khusus bagi para penikmat pinang sebagaimana ruang khusus bagi para perokok.
Juga perlu dilakukan sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat akan makna pinang dan nilai gunanya baik dari segi kesehatan, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal tersebut dimaksudkan terutama agar tradisi mengunyah pinang di bumi Cenderawasih dapat tetap bertahan. Sebab mengunyah pinang bagi orang Papua selain dipahami sebagai ekspresi ke-Papua-an juga merupakan wadah kebersamaan, pertemanan, kerukunan di antara orang Papua khususnya dan sekaligus sebagai putera bangsa Indonesia.
Namun bukan berarti bahwa mengunyah sirih pinang tidak menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan.
Menurut hasil penelitian Alcohol and Drug Foundation (ADF) Australia, efek sirih pinang terhadap kesehatan berbeda-beda pada setiap orang, tergantung berat badan dan kondisi tubuh, juga dosis penggunaannya.
Mereka yang mengonsumsi sirih pinang bisa merasakan euforia ringan dan nyaman, menjadi lebih waspada, jantung berdegup lebih cepat, tekanan darah meningkat, wajah memerah dan merasa hangat, serta berkeringat. Mereka yang baru pertama kali mencoba sirih pinang, akan merasakan pusing, sakit perut, muntah dan bahkan gangguan jiwa.
Sementara untuk efek jangka panjang, ADF Australia menyatakan bahwa sirih pinang mengakibatkan perubahan warga gigi dan gusi menjadi cokelat kemerahan, menyebabkan luka pada gusi dan mulut, kanker, maag, penyakit jantung, dan kecanduan.
Baca juga: Ada Festival pinang di perbatasan RI-Papua Nugini
Baca juga: Meriahkan PON Papua, 100 UMKM ikut Festival Kopi di Jayapura
Editor: Teguh Handoko
Copyright © ANTARA 2021