Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Nining Indra Saleh ke Komisi Informasi Pusat (KIP) karena dinilai melanggar Undang-undang no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

ICW menilai Nining tidak memberikan respons atas surat permintaan informasi ICW kepada Sekretariat Jenderal DPR.

Permintaan ICW sesuai Pasal 4 Ayat (1), (2) dan (3) UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di mana informasi dan laporan hasil pelaksanaan studi banding adalah informasi publik, kata ICW.

'Faktanya Setjen DPR tertutup untuk itu," kata anggota ICW Abdullah Dahlan kepada wartawan di Jakarta, Minggu.

Abdullah memaparkan, ICW telah mengajukan permintaan informasi laporan hasil studi banding alat kelengkapan DPR melalui surat tertanggal 23 November 2010, dan telah diterima Humas DPR pada  25 November 2010.

Kemudian, ICW mengajukan keberatan internal kepada Setjen DPR dengan surat tertanggal 29 Desember 2010, dan diterima Setjen DPR pada 30 Desember 2010.

ICW mengaku telah menerima surat balasan dari Sekjen DPR pada 25 Januari 2010, namun tidak disertai data yang diminta ICW.

"Jadi, wajar kalau ICW menilai, Sekjen DPR Nining yang seharusnya terbuka kepada publik, nyatanya tidak mendukung upaya keterbukaan informasi publik," kata Dahlan.

Dahlan menilai DPR telah mengesampingkan prinsip akuntabilitas dalam penggunaan uang negara.

Di tempat terpisah, Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mendukung langkah ICW melaporkan Setjen DPR ke KIP.

Sebastian mengaku mereka juga sangat sulit sekali mencari atau mendapatkan data soal kegiatan dan laporan kinerja anggota dewan di Setjen DPR, padahal menurut UU KIP, semua lembaga pemerintah harus membuka semua data menyangkut kepentingan publik.

Bahkan, Sebastian meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit anggaran pemberitaan DPR yang dikabarkan mencapai Rp21 miliar.

"Sampai hari ini, kami tidak bisa mendapatkan data dari Setjen DPR. Para wartawan pun mengaku mengalami hal yang sama. Bahkan, anggaran pemberitaan DPR yang mencapai miliaran rupiah tidak jelas juntrungannya," katanya.

Ia berharap KPK dan BPK turun tangan mengaudit semua anggaran DPR.

Ketertutupan Setjen DPR ini juga dirasakan sejumlah wartawan yang meliput di DPR yang kesulitan mendapatkan data, baik itu rancangan undang-undang (RUU) atau daftar isian penyelenggaraan anggaran (DIPA) untuk DPR.

"Padahal dengan dibukanya data DIPA, kita bisa mengukur kinerja DPR dan potensi korupsi yang mereka lakukan," katanya.(*)

J004/B013

Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2011