Solo (ANTARA News) - Pembenahan pendidikan agama di sekolah dinilai perlu dan sangat efektif mencegah radikalisme berkedok agama yang berujung pada aksi kekerasan dan terorisme.

"Gerakan-gerakan radikal semacam itu karena pemahaman agama mereka yang kurang," kata Pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan, K.H. Abdul Rozaq Shofawi di Solo, Kamis.

Usai menerima kunjungan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Scot A. Marciel di ponpesnya tersebut, ia mengatakan inti keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam menyiarkan Islam karena sifat lemah lembutnya.

Ia menjelaskan, Nabi Muhammad SAW sebelum berperang berpesan pada pasukannya agar tidak membunuh anak-anak, wanita, musuh yang sudah tidak berdaya dan tidak merusak bangunan sumber mata air dan makanan.

"Itu dalam situasi peperangan, ada peraturan seperti itu. Kalau sekarang kondisinya kan tidak sedang perang, untuk apa aksi kekerasan dan terorisme mengatasnamakan agama," katanya.

Ia menceritakan kisah bahwa Nabi Muhammad SAW saat sedang tidur pernah ditodong pedang oleh musuhnya, dan si musuh kemudian berkata sombong "Wahai Muhammad, siapakah yang bisa menyelamatkan mu sekarang?".

"Nabi Muhammad kemudian menjawab `Allah SWT`, seketika itu tangan musuhnya langsung lemas, dan keadaan berbalik karena Muhammad yang memegang pedang dan balik bertanya `Siapa yang bisa menyelamatkan mu?`".

Namun, kata dia, Nabi Muhammad tidak membunuhnya dan justru melepaskannya karena musuhnya sudah tidak berdaya, hingga akhirnya musuhnya itu kemudian masuk Islam dan mengikuti Nabi Muhammad SAW.

Ia mengatakan kalau seorang Muslim memahami agama Islam secara benar tidak mungkin melakukan aksi kekerasan dan teror seperti itu karena sesama manusia harus saling menyayangi dan mengasihi.

Untuk mencegah gerakan radikalisme berkedok agama, ia mengatakan metode pendidikan agama di sekolah-sekolah, terutama sekolah negeri yang selama ini berjalan perlu diubah menjadi lebih baik.

"Pembelajaran agama Islam di sekolah-sekolah selama ini masih berupa pengajaran agama, bersifat teori, misalnya siswa diajari cara-cara shalat, namun siswa tidak dijelaskan makna shalat," katanya.

Demikian pula guru mengajarkan siswanya untuk berpuasa saat bulan Ramadhan, kata dia, namun gurunya sendiri justru tidak berpuasa dan terlihat makan minum di sekolah.

"Selain perubahan metode pendidikan agama, untuk mencegah radikalisme membutuhkan sinergi antara ulama dan pemerintah, sebab selama ini pemerintah kurang menghargai peran ulama secara benar," kata Kiai Abdul Rozaq. (ZLS/Z002/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2011