Jakarta (ANTARA) - Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menilai pasar obligasi Indonesia kembali akan diuji ketahanan atau resiliensinya pada 2022 setelah mampu mencetak kinerja positif di tengah gejolak pengurangan stimulus moneter oleh bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve pada tahun sebelumnya.

"Pasar obligasi akan kembali diuji resiliensinya. Kami perkirakan ada potensi kenaikan yield SBN tahun ini, tapi kami melihat ini merupakan opportunity bagi investor untuk mendapatkan entry level yang lebih bagus," ujar Handy saat jumpa pers secara daring yang dipantau di Jakarta, Rabu.

Menurut Handy, jika Indonesia bisa terus memperbaiki kondisi eksternal, menjaga neraca pembayaran tetap positif, menjaga inflasi tetap terkendali, ia memperkirakan dalam jangka panjang arah imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) untuk turun lebih rendah lagi di bawah 6 persen akan sangat terbuka.

Adapun risiko yang bisa menyebabkan yield obligasi lebih tinggi dari perkiraan adalah jika The Fed melakukan kenaikan suku bunga lebih agresif dari perkiraan dan jika terjadi kenaikan kasus COVID-19 yang bisa memicu masalah disrupsi suplai dan berpotensi terjadinya risiko stagflasi atau kondisi di mana inflasi tinggi namun ekonomi melambat.

Baca juga: Pasar obligasi Asia terlihat tetap tangguh hadapi Fed yang "hawkish"

"Di masa stagflasi, kinerja pasar modal baik itu obligasi ataupun saham biasanya akan turun. Salah satu yang masih bisa naik adalah komoditas seperti emas. Dengan masih tingginya volaitlitas, maka diversifikasi investasi harus dilakukan untuk meminimalkan risiko," kata Handy.

Meskipun sudah mencatatkan imbal hasil hampir 30 persen pada 2019 dan 2020, pasar obligasi masih memberikan kinerja yang positif pada 2021 lalu yaitu 5,4 persen, berdasarkan perhitungan indeks return obligasi pemerintah oleh Bloomberg, di tengah gejolak pengurangan kebijakan stimulus moneter oleh The Fed yang dikenal dengan istilah tapering dan munculnya varian COVID-19 baru yang turut menekan pemulihan ekonomi global, serta terjadinya kenaikan inflasi karena disrupsi suplai dan kenaikan harga-harga komoditas.

Pada awal 2022, lanjut Handy, tiga risiko besar di pasar modal masih akan menghantui, yakni normalisasi suku bunga oleh The Fed, ekspektasi outlook pelemahan ekonomi di China, dan perkembangan varian baru COVID-19. Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang, posisi Indonesia relatif baik.

Hal itu tercermin dari vulnerability index yang disusun oleh Mandiri Sekuritas, yang dihihitung berdasarkan beberapa indikator variabel makro seperti neraca transaksi berjalan, cadangan devisa, inflasi, utang publik dan eksternal, persentase ekspor ke China, dan vaksinasi. Skor yang rendah berarti semakin rentan negaranya, sementara jika skornya semakin tinggi berarti semakin aman. Indonesia ada di peringkat 10 yang terbaik dari 25 negara berkembang.

Baca juga: Penerbitan di pasar obligasi China capai 61,9 triliun yuan pada 2021

"Kami melihat ada beberapa perkembangan positif di pasar obligasi kita setelah pandemi ini. Pertama, ketergantungan asing semakin berkurang dimana porsi asing di pasar obligasi yang terus turun dibawah 20 persen dari posisi tertinggi sempat di atas 40 persen," ujar Handy.

Selain itu, saat ini investor asing yang berinvestasi di obligasi juga lebih didominasi investor jangka panjang yang tercermin dari porsi bank sentral asing di pasar obligasi Indonesia meningkat menjadi 26 persen dari sebelumnya hanya 17 persen,

"Support dari investor domestik terus meningkat dan semakin beragam, terutama demand dari institusional non banks ataupun dari ritel. Hal ini juga didukung oleh adanya penurunan pajak bunga obligasi dari tadinya 15 persen menjadi 10 persen. Selain itu, likuiditas yang melimpah tercermin dari LDR yang terus turun, mendorong demand obligasi oleh investor local terus meningkat," kata Handy.

Terakhir, secara valuasi, imbal hasil obligasi Indonesia juga memberikan imbal hasil riil atau real yield yang paling tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya.

Handy menambahkan, kebijakan fiskal yang prudent yang akan mengembalikan deficsit anggaran maksimal 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023, juga akan positif buat pasar obligasi karena hal itu bisa menurunkan suplai SBN ke depannya.

"Sebagai ilustrasi tahun 2020, waktu deficit fiskal hingga di atas 6 persen of GDP, pemerintah harus menerbitkan obligasi mencapai lebih dari Rp1.500 triliun untuk membiayai defisit anggrannya. Namun tahun ini, dengan asumsi defisit anggaran hanya 4,1 persen GDP, maka penerbitan obligasinya turun menjadi Rp1.100 triliun," ujar Handy.

Tahun ini, Bank Indonesia juga masih akan melakukan burden sharing dengan membeli obligasi pemerintah di pasar perdana dengan target Rp214 triliun melalui mekanisme private placement, sehingga target lelang obligasi juga turut berkurang.

"Faktor lain yang bisa menurunkan target penerbitan utang tahun ini adalah potensi optimalisasi pengunaan Saldo Anggaran Lebih atau SAL, yakni akumulasi dari exces financing dari tahun-tahun sebelumnya, yang nilainya mencapai Rp333 triliun di awal tahun 2022," kata Handy.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2022